Sabtu, 30 Juni 2007

Vol. 6 No. 2, Juni 2007. Dwi Sriyantini.



KEKERASAN TERHADAP ANAK
DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA
Oleh:
Dwi Sriyantini*

ABSTRAK
Kekerasan yang terjadi pada anak (child abuse) pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk pengabaian atas hak-hak anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, yaitu UU Nomor 23 Tahun 2002. dan dampak yang ditimbulkan dari kekerasan tersebut disadari atau tidak telah menyebabkan anak-anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupannya dikemudian hari.

PENDAHULUAN
            Berbicara masalah anak, berarti kita berbicara mengenai masa depan bangsa. Karena sebetulnya apa yang kita perbuat kemarin, apa yang kita rintis hari ini dan apa yang kita rencanakan untuk masa depan adalah sepenuhnya untuk menyiapkan kehidupan mereka.
            Namun sisi lain yang harus kita pahami dan sadari adalah status dan kondisi  anak-anak Indonesia adalah paradoks.  Mengapa? Secara ideal anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Namun secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan.
            Krisis multi dimensi yang mendera Indonesia sejak tahun 1997 sangat memukul kehidupan anak-anak. Menurut Data BPS 2003 terdapat 3.488.309 anak terlantar usia 5 – 18 tahun, balita terlantar  1.178.820 dan anak nakal 193.155. Sedangkan Data Kasus KDRT di Jawa Timur yang merupakan kompilasi data PPT, LPA, WCC,dan lain-lain menunjukkan :

NO
U S I A
JUMLAH
PROSENTASI
1
0 – 9 TAHUN
45
4,45 %
2.
10 – 13 TAHUN
115
11.4 %
3.
19 – 28 TAHUN
342
33,63 %
4.
29 – 38 TAHUN
276
27,30 %
5.
> 39 TAHUN
69
6,82 %


1.011
100 %

Berdasarkan Data Pekerja Seks Komersial (PSK)
Jawa Timur                   : 14.279 PSK                 4.081 AYLA
Surabaya                      : 8.440  PSK                 2.329 AYLA
Di luar Surabaya            : 5.839  PSK                 1.752 AYLA
(Draf. Evaperca Jatim Perlindungan Anak, Malang 1-3 Agustus 2006)
Sedangkan berdasarkan data kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Lumajang untuk tiga tahun ini adalah :
Tahun 2004                                           : 21 kasus
Tahun 2005                                           : 28 Kasus
Tahun 2006 (Awal Desember)                 : 26 kasus
(Sumber RPK Polres Lumajang)
            Berdasarkan data tersebut di atas jelas terlihat dan nampaknya kita perlu menyadari bahwa permasalahan anak bukanlah hal yang sederhana. Penanggulangan permasalahan anak sangat menuntut banyak pihak. Mereka bukan semata-mata tanggung jawab orang tua, melainkan juga tanggung jawab negara dan pemerintah serta masyarakat. Oleh karenanya optimalisasi peran orang tua, negara dan pemerintah serta masyarakat terutama melalui LSM, para pendidik, khususnya para Guru PAUD yang saat ini hadir punya tempat strategis untuk mengeliminir dan bahkan mungkin memangkas kekerasan yang terjadi pada anak sehingga dapat mengupayakan kesejahteraan bagi anak-anak dimasa mendatang.

APAKAH  HAK DAN KEBUTUHAN ANAK ?
Menurut Convention on the Right of the Child / Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 yang kemudian diadopsi dalam UU Perlindungan Anak UU Nomor 23 Tahun 2002, anak diartikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sedangkan dalam UU Perkawinan kita UU Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan usia minimal untuk menikah adalah 16 untuk perempuan dan dan 18 tahun untuk lelaki. Sementara itu UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun.  UU RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah.



Hak Anak
            Sebelum berlakunya UU Perlindungan Anak, Hak anak yang ada sebagaimana tersebut dalam Konvensi Hak Anak (KHA)  yang diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990, dimana setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal-usul keturunan, agama maupun bahasa, mempunyai hak-hak yang mencakup 4 bidang, yaitu :
1.       Hak Atas kelangsungan hidup, menyangkut hak atas tingkat hidup yang layak dan pelayanan kesehatan.
2.       Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, serta hak anak cacat atas pelayanan, perlakuan dan perlindungan khusus.
3.       Hak Perlindungan, mencakup perlindungan atas segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam, dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan.
4.       Hak Partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam pengabilan keputusan yang menyangkut dirinya. (Huraerah, 2005 : 21-22)
            KHA merupakan instrumen hukum internasional yang paling lengkap, karena mencakup seluruh aspek hak anak yang dituangkan dalam 37 pasal. Dan sejak tanggal 22 Oktober 2002 yaitu ditetapkannnya UU Perlindungan Anak UU Nomor 23 Tahun 2002, maka perlindungan bagi anak Indonesia telah memiliki landasan hukum yang lebih kokoh. Bahkan penyelenggaraannyapun didasarkan atas prinsip-prinsip dasar KHA, yang meliputi :
  1. Non Diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan cerminan dari prinsip universalitas HAM.
  2. Best Interest of the child (yang terbaik bagi anak), artinya bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan utama.
  3. Survival and Development (kelangsungan hidup dan perkembangan anak), artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak haruslah diakui dan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip indivisibility HAM.
  4. Respect for the views of the child (penghargaan terhadap pendapat anak), maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.
Kebutuhan Anak
            Setiap anak sebagaimana manusia lainnya memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Menurut Brown dan Swanson (Muhidin, 2003 : 3 ) mengatakan, bahwa kebutuan umum anak adalah perlindungan (keamanan), kasih-sayang, pendekatan/perhatian dan kesempatan untuk terlihat dalam pengalaman positip yang dapat menumbuhkembangkan kehidupan mental yang sehat. Sementara itu Huttman dalam Muhidin (Huraerah, 2005 : 27) memerinci kebutuhan anak  meliputi :
1.       Kasih sayang orang tua
2.       Stabilitas emosional
3.  Pengertian dan perhatian
4.  Pertumbuhan kepribadian
5.  Dorongan kreatif
6.  Pembinaan kemampuan intelektual dan ketrampilan dasar
7.  Pemeliharaan kesehatan
8.  Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat
     memadai.
9.  Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan pasif.
10. Pemeliharaan, perawatan dan perlindungan.

MENGAPA TERJADI KEKERASAN TERHADAP ANAK ?
            Beberapa factor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak menurut Edi Suharto ( 1997 : 366-367 ) disebabkan oleh factor internal yang bersumber dari anak itu sendiri maupun eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat sekitarnya, seperti :
1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketaidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.
2.  Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup dan banyak anak.
3. keluarga tunggal atau broken home, misalnya perceraian, ketiadaan ibu/ayah untuk jangka panjang yang tidak memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
4.  Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak yang lahir diluar nikah.
5.  Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orangtua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karenan gangguan emosional dan depresi.
6. Sejarah penelantaran anak. Orangtua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.
7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukimam kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil.
            Sedangkan menurut Kusnandi Rusmil ( 2004 : 60 ) penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak terbagai atas 3 faktor, yaitu :
1. Faktor orang tua / keluarga
    Faktor ini memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak, hal mana disebabkan karena :
a.       Praktik budaya yang merugikan anak
b.       Dibesarkan dengan penganiayaan
c.       Gangguan mental
d.       Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun social(khusus mempunyai anak sebelum 20 tahun)
e.       Pecandu napza
2. Faktor lingkungan social / komunitas
a.       Kemiskinan
b.       Kondisi sosil-ekonomi rendah
c.       Adanya nilai dalam masyarakat, bahwa anak adalah milik orangtua sendiri
d.       Status wanita yang dipandang rendah
e.       System keluarga patriarchal
f.        Nilai masyarakat yang terlalu individualis
3. Faktor anak itu sendiri
a.       Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan
Ketergantungan
b.  Perilaku menyimpang pada anak.
            Menurut Richard J. Gelles (2004 : 4 – 6) kekerasan terhadap anak terjadi sebagai akibat kombinasi dari berbagai fakctor, yaitu personal, social, dan cultural. Faktor – foktor tersebut dapat dikelompokkan kedalam 4 kategori utama, yaitu :
1.       Pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational Transmission of  violence)
2.       Stress Sosial/Sosial stress
3.       Isolasi Sosial dan keterlibatan masyarakat bawah (Social isolation and law community involvement)
4.       Struktur keluarga  ( Family structure )

BAGAIMANAKAH DAMPAK KEKERASAN TERHADAP ANAK  ?
            Menurut Valerie Bivens anggota Social Worker for Child Protective, California sebagaimana dikutip Dave Pelzer (Priatmoko, 2003 : 161), bahwa masyarakat pada umumnya tidak menyadari luasnya pengaruh child abuse. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa pendapat pakar sebagai berikut.
Kusnandi Rusmil (2004 : 61), mengemukakan bahwa anak-anak yang menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan penelantaran menghadapi resiko :
1. Usia yang lebih pendek
2. Kesehatan fisik dan mental yang buruk
3. Masalah pendidikan (dropt-out dari sekolah)
4. Kemampuan yang terbatas sebagai orangtua kelak
5. Menjadi gelandangan
            Sedangkan menurut hasil penelitian YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia) menyimpulkan, bahwa kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak dikemudian hari, antara lain :
1.       Cacat tubuh permanen
2.       Kegagalan belajar
3.       Gangguan emosional bahkan menjurus pada gangguan kepribadian
4.       Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai atau mencintai orang lain
5.       Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru dengan orang lain.
6.       Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal
7.       Menjadi penganiaya ketika dewasa
8.       Menggunakan napza
9.       Kematian ( Edi Suharto, 1997 : 367-368 )..
            Gambaran yang lebih jelas tentang efek tindakan kekerasan pada anak bisa juga dilihat dari penjelasan Moore (Nugroho, 1992 : 41) yang mengamati beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan psikologis. Diungkapkan, bahwa efek tindakan kekerasan tersebut demikian luas dan secara umum dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori, yaitu ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi, ada yang menjadi sangat pasif dan apatis, ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orang tuanya (parental extension), mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri (chronically law self-esteem), ada pula yang sulit menjalin relasi dengan individu lain, dan yang lebih parah adalah timbulnya rasa benci pada dirinya sendiri (self-hate) karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap dirinya, dan akhirnya menimbulkan tindakan menyakiti dirinya sendiri seperti bunuh diri dsb.
Selain akibat psikologis tersebut, Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh yang kurang normal, juga rusaknya system syaraf, dan sebagainya.
            Dari uraian di atas jelas terlihat dampak dari tindakan kekerasan terhadap anak begitu mengenaskan. Mungkin belum banyak orang menyadari bahwa pemukulan yang bersifat fisik itu bisa menyebabkan kerusakan emosional anak.
Misalnya anak-anak yang masih kecil sering susah tidur dan bangun ditengah malam dengan menjerit ketakutan, ada yang menderita psikosomatik, misalnya ashma. Beberapa anak ada yang sedih sedemikian rupa sehingga sering muntah setelah makan dan berat badanya turun drastic. Ketika mereka semakin besar, anak laki-laki cenderung sangat agresif dan bermusuhan dengan orang lain, semnetara anak perempuan sering mengalami kemunduran dan menarik diri kedalam dunia fantasinya sendiri.. Namun dampak yang paling menyedihkan adalah bahwa anak perempuan kemudian merasa semua anak pria itu menyakiti (dan menyebabkan beberapa diantaranya membenci pria), sedangkan anak laki-laki kemudian percaya bahwa laki-laki mempunyai hak untuk memukul isterinya.
Seorang wanita bercerita bahwa ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan suaminya ketika melihat anak lelakinya yang berumur 8 tahun menganiaya adik perempuannya. “Hal itu sungguh membuatku marah. Saya pegang dia dan saya tanya, apakah dia mengetahui apa yang sedang dilakukannya. Ia melihat kemata saya dan berkata : “Jika ayah dapat melakukannya, demikian juga saya.”(Nugroho, 2003 : 17).
            Anak-anak memang selalu peka. Sering orangtua tidak menyadari bahwa apa yang terjadi diantara mereka begitu mempengaruhi anak. Sering dikatakan, anak merupakan cermin dari apa yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Jika suasana keluarga sehat dan bahagia, maka wajah anak begitu ceria dan berseri. Sebaliknya jika mereka murung dan sedih, biasanya telah terjadi sesuatu yang berkaitan dengan orang tuanya. Sebagai wadah sosialisasi primer, dimana anak belajar untuk pertama kalinya mengenal nilai-nilai dan cara bertingkah laku, perilaku orangtua sering mempengaruhi perilaku anak-anaknya kelak. Jika kekerasan begitu dominan, tidaklah mengherankan jika anak-anak kemudian melakukannya begitu sering terjadi dalam keluarganya, maka ia menganggap hal itu sebagai hal yang ”normal” dan sudah seharusnya.

BAGAIMANAKAH STRATEGI UNTUK MENGELIMINER, MENCEGAH DAN MENANGANI KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG TERJADI DISEKITAR KITA?
            Strategi yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah kekerasan terhadap anak adalah mengeliminasi, mencegah dan menangani secara terpadu dan menyeluruh melalui :
1. Penguatan kapasitas kelembagaan :
a.         Penguatan kapasitas kelembagaan dan jaringan aksi harus selalu diperhatikan dan ditingkatkan agar komitmen dan langkah yang dirumuskan betul-betul diimplementasikan.
b.         Peningkatan SDM
c.         Pengembangan dan penguatan jaringan melalui pelatihan, fasilitasi potensi masyarakat yang dapat mengambil peran.
d.         Melakukan evaluasi dan monitoring thd. Issue perlindungan anak.
2. Peningkatan Kesadaran Masyarakat
a.       Dalam bentuk pencegahan dan perlindungan serta pemulihan anak-anak yang menjadi korban.
b.       Penanganan program berbasis keluaraga dan masyarakat
c.       Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif untuk kelompok rentan dan memungkinan munculnya  dampak pencegahan yang berasal dari masyarakat.
3. Pengembangan dan Advokasi Penegakan Hukum
4. Pengembangan program aksi, melalui :
a.       Pengembangan data dan informasi kekerasan terhadap anak
b.       Pemulihan dan reintegrasi social bagi anak.
c.       Peningkatan akses dan kesempatan pendidikan, kesehatan anak dan peningkatan ekonomi keluarga
5. Pengembangan partisipasi anak.

PENUTUP
            Kekerasan yang terjadi pada anak (child abuse) pada dasarnya adalah merupakan bentuk-bentuk pengabaian atas hak-hak anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, yaitu UU Nomor 23 Tahun 2002. dan dampak yang ditimbulkan dari kekerasan tersebut disadari atau tidak telah menyebabkan anak-anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupannya dikemudian hari.
-----

DAFTAR PUSTAKA

Ajun Khandani,Spsi.,Djoenianto,SH., 2006, Saatnya Tahu Tentang Anak, Plan Indonesia, Surabaya

Abu Huraerah, MSi.,2005, Kekerasan Terhadap Anak, Penerbit Nuansa, Bandung

Syarif Muhidin, 1977, Pengantar Kesejahteraan Sosial, STKS, Bandung

Fentini Nugroho, 2002, Kekerasan dalam Keluarga, Fisip-UI, Jakarta

Kusnandi Rusmil, 2204, Penganiayaan dan Kekerasan Terhadap Anak, Bandung

Edi Suharto, 1997, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial Lembah Studi Pembanguan, Bandung

-------, 2003, Pendekatan pekerjaan Sosial dalam mengatasi MasalahAnak, Lembah Studi Pembangunan, Bandung

Sal Severe, PHd., 2003, Bagaimana Bersikap Pada Anak Agar Anak Prasekolah Anda Bersikap Baik, Gramedia, Jakarta

Wagiati Soetodjo,Dr.,SH,MS., Hukum Pidana Anak, Aditama, Bandung

Penanggulangan perdagangan Perempuan dan Anak (Pengalaman Sejumlah LSM  di Indfonesia)

Rencana Aksi Komisi Perlindungan Anak Propinsi Jawa Timur Tahun 2004 - 2008


* Dwi Sriyantini,SH. adalah dosen STIH Jenderal Sudirman Lumajang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar