CATATAN KRITIS BEBERAPA KETENTUANDALAM UU NO 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN
UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD
Oleh:
BAMBANG
SUYATNO*
ABSTRAK
Secara normatif, sebagian besar materi
teknis penyelenggaraan pemilu di dalam UU Pemilu legislatif dan UU Pemilu eksekutif
(presiden dan kepala daerah) tidak jauh berbeda satu sama lain. Namun demikian,
ada beberapa kekhasan yang membedakan satu dengan yang lainnya. Hal yang
penting dalam kaitan ini adalah bahwa regulasi pemilu harus disusun
sejelas-jelasnya dan memberikan ketegasan pada setiap tahapan proses pemilu,
sehingga dapat menghindarkan terjadinya multi tafsir yang merugikan berbagai
pihak dan menghambat jalannya proses pemilu secara keseluruhan.
A. Latar Belakang.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa , dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.[1] Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (hasil
amandemen ketiga) menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, yang oleh Pasal 22 E ayat (6)
ditegaskan bahwa perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui lembaga
perwakilan rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan lembaga
perwakilan daerah, yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, yang
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Perwujudan kedaulatan rakyat
memerlukan suatu undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan umum
(pemilu) anggota lembaga perwakilan rakyat dan daerah, guna terbentuknya
lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat dan daerah. Pemilu
sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan
negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, dimaksudkan untuk terpilihnya anggota, dan
terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mampu mencerminkan
nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat
termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Melalui pemilu yang bersifat
langsung, rakyat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara
langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Semua warga
negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih berhak mengikuti pemilu dan
memberikan suaranya secara langsung. Pemilihan yang bersifat umum mengandung
makna terjaminnya kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara,
tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
kedaerahan, pekerjaan dan status social.
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya
tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap
warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak
hati nurani dan kepentingannya. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin
bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa
pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui
oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
Sementara itu, pemilu perlu
diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas,
profesionalitas dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara lebih berkualitas,
sistematis, legitimate, dan akuntabel
dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Setiap penyeleggara pemilu,
aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih,
serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat
perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan dan/atau perlakuan yang tidak
adil dari pihak manapun. Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas
agar lebih menjamin derajat kompetisi yang sehat, partisipati, mempunyai
derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme
pertanggungjawaban yang jelas.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia,
sistem perwakilan proporsional (proportional
representation / PR system) tampaknya telah menjadi pilihan yang dianggap
paling mungkin (feasible). Pertimbangan
penggunaan sistem proporsional yang selama ini dominan adalah agar suara rakyat
tidak terbuang dan proporsionalitas keterwakilan politik mencerminkan
heterogenitas keberagaman masyarakat dari segi etnik dan budaya serta agama.
Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah adalah pertimbangan
lain di balik pilihan terhadap sistem
proporsional. Sistem proporsional yang diterapkan sejak orde baru hingga
saat ini belum sepenuhnya dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang murni
mewakili kepentingan rakyat.
Kelemahan-kelemahan
tersebut secara bertahap diperbaiki pada masa transisi sejak pemilu 1999 dan
pemilu 2004. Pada pemilu 1999, kendati
telah diperbaiki dibandingkan pemilu-pemilu orde baru, sistem pemilu masih belum
dapat menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar representatif karena sistem
proporsional yang berlaku bersifat tertutup. Kelemahan ini diperbaiki relatif
agak mendasar pada UU Nomor 12 Tahun 2003, dengan ditetapkannya sistem
proporsional terbuka. Akan tetapi kehendak untuk menerapkan sistem proporsional
terbuka tersebut cenderung bersifat simbolik karena dalam praktiknya hampir
semua calon anggota lembaga legislatif (caleg) terpilih atas dasar nomor urut
yang ditetapkan oleh pimpinan partainya masing-masing.
Sistem proporsional terbuka pada
pemilu 2004 cenderung diberlakukan secara inkonsisten dan setengah hati,
sehingga masih belum dapat memperbaiki kelemahan dan problem keterwakilan pada
pemilu-pemilu sebelumnya. Penentuan calon jadi atas dasar nomor urut merupakan
dilema paling mendasar dari sistem proporsional terbuka pada pemilu 2004.
Sebagaimana diketahui, pemilih dapat mencoblos tanda gambar partai dan
mencoblos nama calon. Karena sifatnya masih belum terbuka secara penuh, maka
sistem ini cenderung membingungkan pemilih, karena suara dianggap sah apabila
pemilih memilih tanda gambar saja, dan/atau tanda gambar sekaligus nama caleg.
Apabila pemilih hanya memilih nama caleg, maka suara dianggap tidak sah. Dengan
tata cara pemilihan seperti itu, maka secara formal sebenarnya sistem yang
berlaku masih cenderung pada sistem proporsional tertutup daripada sistem
proporsional terbuka. Berkaitan dengan hal tersebut maka tulisan ini akan
difokuskan dalam tiga permasalahan,
yakni :
- Bagaimana mekanisme pencalonan apa sudah sesuai dengan konsep” terbuka dan demokratis” ?
- Apakah persyaratan electoral threshold sudah diterapkan secara konsisten?
- Bagaimana proporsionalitas nilai kursi legislatif dan besaran daerah pemilihan?
B. Mekanisme Pencalonan Menurut Undang-Undang No 12 Tahun
2003.
Akibat mekanisme pencoblosan yang
masih mengabsahkan pemilihan pada tanda ganbar partai politik, maka mekanisme
pencalonan anggota legislatif menjadi kurang kompetitif. Sebab calon yang
menempati nomor urut atas (potensi untuk tepilih), meski yang bersangkutan
hanya ”diam”, lebih berpeluang besar terpilih, sementara calon yang ,menempati
nomor urut bawah harus berjuang keras agar memeperoleh dukungan dari
konstituen. Di samping itu, pada kenyataannya, daftar nomor urut yang potensial
terpilih sebagai calon jadi lebih ditempati oleh pengurus-pengurus partai,
sementara yang bersangkutan belum tentu dikenal oleh konstituen dan memiliki
kapabilitas yang memadai. Dengan sistem pemilihan seperti itu, ada gejala bahwa
partai-partai dan para pengurus partai lebih diuntungkan, karena merekalah yang
potensial mendapat aksesibilitas
untuk duduk di parlemen.
Karena posisi strategis (nomor urut
yang potensial terpilih) pasti hanya akan ditempati oleh elite dan pengurus
partai. Kurang tegasnya mekanisme pencalonan dalam Undang-Undang No 12 Tahun
2003 yang hanya menekankan proses dilakukan secara ”terbuka dan demokratis” itu
sendiri, menyebabkan pengurus partai masih dominan dalam pencalonan anggota
legislatif.
Sementara itu, mekanisme pencalonan
yang prosesnya kurang transparan kepada publik, memberikan peluag terjadinya money politics, sehingga meskipun UU No.
12 Tahun 2003 telah mengatur bahwa pencalonan calon wakil rakyat hanya
dilakukan oleh atau melaui partai politik (dengan memenuhi persyaratan dan
dilakukan secara terbuka dan demokratis), namun dalam praktiknya, secara
terselubung sering terjadi penyimpangan. Partai-partai yang telah mapan pola
rekrutmennya cenderung lebih dikuasai oleh elite dan pengurus partai, sementara
partai-partai kecil kesulitan dalam mencari kader yang akan dicalonkan. Selain
itu, cenderung ada manipulasi data calon atau kecurangan lain dalam penempatan
nomor urut pada daftar calon tetap.
Hal itu
salah satunya disebabkan oleh kriteria rekruitmen pencalonan anggota dewan oleh
partai-partai politik masih bersifat adminsttratif belaka. Idealnya ada kaitan
antara syarat-syarat menjadi calon anggota legislatif dengan fungsi dan tugas
keparlemenan yang akan diemban oleh caleg. Persyaratan-persyaratan yang ada
cederung mengabaikan aspek kualitas dan kapabilitas calon serta belum mengarah
pada persyaratan yang bersifat fungsional, dalam arti profesionalitas caleg
terhadap fungsi-fungsi yang akan dilaksanakan setelah menjadi anggota
legislatif.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003
yang diterapkan pada pemilu 2004 yang lalu, telah menghasilkan anggota
legilatif yang baru. Namun demikian, hasilnya belum menunjukkan peningkatan
kualitas anggota legislatif dari hasil pemilu sebelumnya. Salah satunya disebabkan
karena persyaratan calon sifatnya masih adminstratif, abstrak dan sulit diukur.
Hal ini misalnya menyangkut persyaratan bahwa seorang calon anggota legislatif
harus mempunyai ijazah SLTA atau yang sederajat. Ukuran akademis yang dipakai
sebagai syarat latar belakang pendidikan calon wakil rakyat hanya pendidikan
formal setingkat SLTA. Sementara itu,
keahlian, pengalaman berorganisasi maupun kecakapan teknis lain yang dianggap
perlu sebagai faktor pendukung suksesnya kerja sebagai wakil rakyat, sama sekali
tidak menjadi bahan pertimbangan. Dampaknya, pemilu masih belum dapat
menghasilkan calon-calon yang memiliki performance
dan kapabilitas yang lebih memadai, berkaitan dengan fungsi sebagi legislatif
yang diembannya.
Kualitas representasi dan
akuntabilitas para wakil rakyat terutama ditentukan oleh kualitas proses
rekruitmen dalam pencalonan anggota
lembaga legislatif. Mengingat hakikat anggota lembaga legislatif adalah
representasi atau wakil rakyat, maka keterlibatan dan atau akses rakyat dalam
proses pencalonan merupakan suatu keniscayaan.
Ruang lingkup agenda penataan kembali proses pencalonan yang dapat
dilakukan adalah :
1.
Pemberian kesempatan
bagi warga negara untuk menjadi
calon anggota legislatif melalui
pengumuman pendaftaran bakal calon anggota lembaga legislatif secara terbuka
oleh setiap partai peserta pemliu;
- Pemberlakuan persyaratan kualifikasi kompetensi tertentu bagi para bakal calon anggota lembaga legislatif, sehingga persyaratan pencalonan tidak semata-mata bersifat administratif;
- Penyusunan daftar bakal calon anggota legislatif oleh setiap partai politik peserta pemilu dan diumumkan kepada masyarakat untuk mendapat masukan penyempurnaan dengan tujuan untuk memperoleh bakal calon yang benar-benar layak guna dimasukkan ke dalam daftar calon anggota legislatif;
- Pemberlakuan kewajiban bagi partai peserta pemilu untuk menyempurnakan daftar bakal calon anggota lembaga legislatif segera setelah mendapat masukan, saran atau kritikan dari masyarakat, sebelum penyampaian oleh partai politik kepada KPU/KPUD sebagai bahan penyusunan DCS ( Daftar Calon Sementara);
- Pemberlakuan kewajiban bagi KPU untuk mengumumkan DCS sekurang-kurangnya selama dua minggu sebelum pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT). Pengumuman DCS mendahului DCT memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menilai rekam jejak caleg sebelum ditetapkan secara final dalam DCT.
C. Penerapan Electoral Threshold Menurut
Undang-Undang No.12 Tahun 2003.
Upaya untuk memperketat persyaratan
partai peserta pemilu melalui electoral
threshod (ET) telah diberlakukan sejak pemilu 1999. Namun pada kenyataannya, ketentuan ET ini
masih cenderung dipermainkan oleh partai-partai politik. Praktik yang berlaku
pada pemilu 2004 memperlihatkan kenyataan sejumlah partai yang memanfaatkan
ketentuan ET untuk ”lahir kembali” sebagai partai baru agar dapat mengikuti
pemilu berikutnya. Artinya, sepanjang
ketentuan administratif sebagai parpol peserta pemilu dapat terpenuhi sesuai
undang-undang, maka partai politik yang gagal ET tersebut tetap akan menjadi
peserta pemilu. Partai politik yang pernah ikut pemilu 1999 tetapi gagal
memenuhi ketentuan ET dengan mudah menjadi peserta pemilu untuk pemilu
2004. Dengan demikian, ketentuan electoral threshold dengan mudah
diperdaya melalui penggantian nama partai menjelang pemilu. Penggantian nama
partai baru menjadi jalan pintas, sehingga yang terjadi adalah seolah-olah
lahir partai baru peserta pemilu, padahal partai tersebut hanyalah metamorfosis partai lama yang tidak
memenuhi electoral threshold pada pemilu sebelumnya.
Penerapan ET yang terlalu longgar
dan cenderung mudah dimanipulasi pada akhirnya justru akan menciptakan tingkat
fragmentasi partai yang relatif tinggi di parlemen dan kurang dapat mendorong
upaya penyederhanaan partai politik.
Dengan kata lain, walaupun jumlah partai peserta pemilu berkurang, namun
Undang-Undang No 12 Tahun 2003 kurang dapat mendorong terjadinya pembatasan
partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen, sehingga kebutuhan akan
hadirnya partai mayoritas tidak terjadi.
Masih adanya peluang bagi
partai-partai yang tidak lolos ET untuk membentuk partai politik baru karena
lemahnya pengaturan Undang-undang berdampak pada berlomba-lombanya para
pengurus partai lama untuk mendirikan partai politik baru dengan berubah nama,
bendera dan simbol-simbol lainnya, namun dengan garis besar identitas yang
sama. Kecenderungan seperti ini pada dasarnya inkonsisiten dengan tujuan
penerapan ET, karena semestinya partai yang telah gagal ET tidak memiliki peluang
untuk mengikuti pemilu selanjutnya.
Untuk mencapai tujuan pemberlakuan
ET, maka perlu dipertimbangkan bahwa pengurus partai yang partainya tidak lolos
ET namun ternyata yang bersangkutan kemudian membentuk partai politik baru,
maka partai politik baru tersebut tidak dapat secara langsung mengikuti pemilu
berikutnya dan baru diperbolehkan ikut dalam pemilu setelah satu periode (lima
tahun), kecuali bergabung atau meleburkan diri dengan partai-partai yang lolos
ET. Pengaturan yang ketat seperti ini diperlukan dengan harapan akan
terciptanya penguatan sistem kepartaian di satu pihak dann efektifitas sistem
presidensial di pihak lain.
Apabila penataan sistem kepartaian
mengarah pada pembentukan suatu sistem multipartai sederhana maka pengetatan
persyaratan keikutsertaan partai dalam pemilu legislatif adalah suatu
keniscayaan. Hal ini perlu diagendakan
bukan saja dalam rangka penyederhanaan pengelompokan politik DPR hasil pemilu,
melainkan juga dalam upaya memperluas sekaligus memperkuat basis partai-partai
peserta pemilu. Ruang lingkup agenda pengetatan yang dapat dilakukan di
antaranya adalah :
1.
Memberlakukan persyaratan
pendirian partai peserta pemilu sekurang-kurang nya 12 (dua belas) bulan
sebelum pemilu diselenggarakan. Persyaratan ini diperlukan agar tersedia cuckup
waktu bagi calon partai peserta pemilu memperluas jaringan organisasi serta
dikenal oleh masyarakat;
- Mempertahankan persyaratan electoral threshold (ET) bagi partai peserta pemilu legislatif berikutnya yang ditingkatkan secara bertahap, dari 3 (tiga) persen untuk pemilu 2009 menjadi 5 (lima) persen untuk pemilu 2014. Persyaratan ET 2(dua) persen pada pemilu 2004 memang berhasil mengurangi jumlah partai peserta pemilu dari 48 (empat puluh delapan) partai peserta 1999 menjadi separohnya (24 partai) pada pemilu berikutnya. Persyaratan ET 3 (tiga) persen untuk pemilu 2009 dan 5 (lima) persen untuk pemilu 2014 diharapkan dapat mengurangi jumlah partai peserta pemilu secara lebih signifikan lagi[2];
- Partai politik yang tidak lolos ET 3 % dapat bergabung dengan partai yang lolos ET dan meleburkan diri, atau bergabung dengan partai-partai yang juga tidak tidak lolos ET 3% hingga memenuhi ET 3%, kedua metode dimaksud sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
- Menetapkan jumlah minimal anggota partai terdaftar sekurang-kurangnya 1000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (satu permil) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan KTA ( Kartu Tanda Anggota).
D.
Proposionalitas Nilai Kursi Legislatif Dan Besaran Daerah Pemilihan
Menurut Undang-Undang No 12 Tahun 2003.
Saat ini, penentuan nilai kursi bagi
anggota DPR, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 belum sepenuhnya memperhatikan
aspek proporsi jumlah penduduk, yaitu proporsi atau perbandingan antara daerah
yang padat penduduknya dengan daerah yang jarang penduduknya. Hal ini
menimbulkan ketimpangan nilai kursi, karena dalam praktiknya ada ”kursi mahal”
di daerah-daerah pemilihan di jawa, dan ”kursi murah” di daerah-daerah
pemilihan luar jawa. Apabila dasar penentuan nilai kursi adalah jumlah
penduduk, maka perlu dikembalikan pada prinsip dasar yang sama, yaitu prinsip ”
one person one vote ”. Dengan kata lain, nilai kursi pada tingkat
seminimal mungkin tidak terlalu lebar kesenjangannya antara wilayah yang padat
dengan wilayah yang jarang penduduknya. Hal ini karena pada dasarnya,
legislatif (DPR) mewakili penduduk bukan mewakili wilayah, sehingga daerah yang
jumlah penduduknya lebih padat memiliki perwakilan politik yang lebih besar
dari pada daerah yang jarang penduduknya.
Demikian pula yang terjadi pada
penetapan daerah pemilihan, dalam hal ini penentuan daerah pemilihan kurang
mempertimbangkan perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah.
Dampaknya, terjadi ketimpangan besaran daerah pemilihan antara jawa dengan luar
jawa. Meskipun kelemahan ini dikompensasi melalui keberadaan lembaga DPD yang
didasarkan pada perwakilan wilayah, namun tetap tidak dapat menyetarakan nilai
kursi legislatif nasional anatar jawa – luar jawa. Basis perhitungan nilai
kursi yang tidak mencerminkan keadilan antar daerah (keseimbangan antara daerah
yang padat penduduk dengan yang jarang penduduknya), dipandang perlu dikoreksi,
dikembalikan pada prinsip yang semestinya, yaitu jumlah penduduk sebagai dasar
dalam menetukan nilai kursi pada setiap daerah pemilihan.
Salah satu fungsi utama pemilu di
dalam sistem demokrasi adalah mengubah suara rakyat menjadi kursi-kursi
legislatif. Oleh karena itu setiap kursi
legislatif semestinya mempunyai nilai yang sama atau setara (one person one vote one value). Argumen bahwa nilai kursi legislatif di Jawa lebih
mahal dibanding kan luar Jawa adalah dalam rangka keseimbangan perwakilan Jawa
– luar Jawa tidak lagi relevan dengan adanya DPD sebagai representasi
wilayah (dalam hal ini provinsi). Dengan
demikian ketimpangan keterwakilan Jawa yang padat penduduk dan luar Jawa yang
jarang penduduknya ditutupi melalui keterwakilan DPD yang jumlah anggotanya
sama pada setiap provinsi.
Ruang
lingkup agenda penataan yang bisa dilakukan di antaranya adalah :
1.
Perubahan basis penghitungan nilai
kursi sehingga nilai kursi legislatif di Jawa tidak terlalu timpang dengan
nilai kursi di luar Jawa. Argumen bahwa
perbedaan nilai kursi di jawa dan luar jawa dimaksudkan agar terdapat
keseimbangan perwakilan Jawa – luar Jawa di parlemen tidak relevan lagi karena
telah dikompensasi melalui keberadaan lembaga DPD yang jumlah wakilnya sama
untuk setiap provinsi;
2.
Penataan kembali besaran daerah
pemilihan atas dasar perubahan basis perhitungan nilai kursi yang mendekati
sama, sehingga jumlah minimal dan maksimal kursi di setiap daerah pemilihan
tidak terlalu timpang sebagaimana pemilu 2004.
Pada
dasarnya, sebagian besar materi teknis penyelenggaraan pemilu di dalam UU
Pemilu legislatif dan UU Pemilu eksekutif (presiden dan kepala daerah) tidak
jauh berbeda satu sama lain. Namun demikian, ada beberapa kekhasan yang
membedakan satu dengan yang lainnya. Hal yang penting dalam kaitan ini adalah
bahwa regulasi pemilu harus disusun sejelas-jelasnya dan memberikan ketegasan
pada setiap tahapan proses pemilu, sehingga dapat menghindarkan terjadinya
multi tafsir yang merugikan berbagai pihak dan menghambat jalannya proses
pemilu secara keseluruhan.
Berdasarkan
pada pengalaman penyelenggaraan pemilu tahun 2004, terdapat beberapa kendala fundamental
terkait dengan sistem pemilu, pelanggaran atas persyaratan pencalonan dan
mekanisme pencalonan, penyimpangan prinsip one
person, one vote dan one value
dan proses penyelesaian sengketa pemilu, oleh karena itu perlu penyesuaian
pengaturan atau regulasi pemilu anggota
lembaga legislatif, pemilu presiden/wakil presiden dan pemilihan kepala
daerah/wakil kepala daerah, sehingga ada konsistensi di antara berbagai
regulasi pemilu tersebut.
-----
DAFTAR PUSTAKA
Lili Romli (2006) “Mencari
Format Sistem Kepartaian Masa Depan”. Jurnal Politika, Vol2 , No.
2.
Undang-Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Undang-Undang
Repubik Indonesia Nomor
12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2005 – 2009.
* Bambang Suyatno,SH.,MH. adalah dosen STIH
Jenderal Sudirman Lumajang
[1] Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[2] Sebagai pembanding, electotal threshold di Jerman 5 persen,
Swedia 4 persen, Argentina dan Bolivia 3 persen, sedangkan Meksiko dan Norwegia masing- masing 2 persen. Lihat Lili Romli, “Mencari Format Sistem Kepartaian
Masa Depan” . Jurnal Politika, Vol 2 , No. 2, 2006, hal 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar