Sabtu, 30 Juni 2007

Vol. 6 No. 2, Juni 2007. Bambang Suyatno.



CATATAN KRITIS BEBERAPA KETENTUANDALAM UU NO 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD
Oleh:
BAMBANG SUYATNO*

ABSTRAK
Secara normatif, sebagian besar materi teknis penyelenggaraan pemilu di dalam UU Pemilu legislatif dan UU Pemilu eksekutif (presiden dan kepala daerah) tidak jauh berbeda satu sama lain. Namun demikian, ada beberapa kekhasan yang membedakan satu dengan yang lainnya. Hal yang penting dalam kaitan ini adalah bahwa regulasi pemilu harus disusun sejelas-jelasnya dan memberikan ketegasan pada setiap tahapan proses pemilu, sehingga dapat menghindarkan terjadinya multi tafsir yang merugikan berbagai pihak dan menghambat jalannya proses pemilu secara keseluruhan.

A.  Latar Belakang.
             Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa , dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.[1]  Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (hasil amandemen ketiga) menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, yang oleh Pasal 22 E ayat (6) ditegaskan bahwa perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui lembaga perwakilan rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan lembaga perwakilan daerah, yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
             Perwujudan kedaulatan rakyat memerlukan suatu undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) anggota lembaga perwakilan rakyat dan daerah, guna terbentuknya lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat dan daerah. Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dimaksudkan untuk terpilihnya anggota, dan terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
           Melalui pemilu yang bersifat langsung, rakyat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Semua warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih berhak mengikuti pemilu dan memberikan suaranya secara langsung. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna terjaminnya kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status social.  Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
           Sementara itu, pemilu perlu diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara lebih berkualitas, sistematis, legitimate, dan akuntabel dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Setiap penyeleggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan dan/atau perlakuan yang tidak adil dari pihak manapun. Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin derajat kompetisi yang sehat, partisipati, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
           Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem perwakilan proporsional (proportional representation / PR system) tampaknya telah menjadi pilihan yang dianggap paling mungkin (feasible). Pertimbangan penggunaan sistem proporsional yang selama ini dominan adalah agar suara rakyat tidak terbuang dan proporsionalitas keterwakilan politik mencerminkan heterogenitas keberagaman masyarakat dari segi etnik dan budaya serta agama. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah adalah pertimbangan lain di balik pilihan terhadap sistem  proporsional. Sistem proporsional yang diterapkan sejak orde baru hingga saat ini belum sepenuhnya dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang murni mewakili kepentingan rakyat. 
Kelemahan-kelemahan tersebut secara bertahap diperbaiki pada masa transisi sejak pemilu 1999 dan pemilu 2004.  Pada pemilu 1999, kendati telah diperbaiki dibandingkan pemilu-pemilu orde baru, sistem pemilu masih belum dapat menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar representatif karena sistem proporsional yang berlaku bersifat tertutup. Kelemahan ini diperbaiki relatif agak mendasar pada UU Nomor 12 Tahun 2003, dengan ditetapkannya sistem proporsional terbuka. Akan tetapi kehendak untuk menerapkan sistem proporsional terbuka tersebut cenderung bersifat simbolik karena dalam praktiknya hampir semua calon anggota lembaga legislatif (caleg) terpilih atas dasar nomor urut yang ditetapkan oleh pimpinan partainya masing-masing.
          Sistem proporsional terbuka pada pemilu 2004 cenderung diberlakukan secara inkonsisten dan setengah hati, sehingga masih belum dapat memperbaiki kelemahan dan problem keterwakilan pada pemilu-pemilu sebelumnya. Penentuan calon jadi atas dasar nomor urut merupakan dilema paling mendasar dari sistem proporsional terbuka pada pemilu 2004. Sebagaimana diketahui, pemilih dapat mencoblos tanda gambar partai dan mencoblos nama calon. Karena sifatnya masih belum terbuka secara penuh, maka sistem ini cenderung membingungkan pemilih, karena suara dianggap sah apabila pemilih memilih tanda gambar saja, dan/atau tanda gambar sekaligus nama caleg. Apabila pemilih hanya memilih nama caleg, maka suara dianggap tidak sah. Dengan tata cara pemilihan seperti itu, maka secara formal sebenarnya sistem yang berlaku masih cenderung pada sistem proporsional tertutup daripada sistem proporsional terbuka. Berkaitan dengan hal tersebut maka tulisan ini akan difokuskan dalam tiga  permasalahan, yakni :
  1. Bagaimana  mekanisme  pencalonan  apa sudah sesuai dengan  konsep” terbuka dan demokratis” ?
  2. Apakah persyaratan electoral threshold sudah diterapkan secara konsisten?
  3. Bagaimana proporsionalitas nilai kursi legislatif dan besaran daerah pemilihan?

B. Mekanisme Pencalonan Menurut Undang-Undang No 12 Tahun 2003.
            Akibat mekanisme pencoblosan yang masih mengabsahkan pemilihan pada tanda ganbar partai politik, maka mekanisme pencalonan anggota legislatif menjadi kurang kompetitif. Sebab calon yang menempati nomor urut atas (potensi untuk tepilih), meski yang bersangkutan hanya ”diam”, lebih berpeluang besar terpilih, sementara calon yang ,menempati nomor urut bawah harus berjuang keras agar memeperoleh dukungan dari konstituen. Di samping itu, pada kenyataannya, daftar nomor urut yang potensial terpilih sebagai calon jadi lebih ditempati oleh pengurus-pengurus partai, sementara yang bersangkutan belum tentu dikenal oleh konstituen dan memiliki kapabilitas yang memadai. Dengan sistem pemilihan seperti itu, ada gejala bahwa partai-partai dan para pengurus partai lebih diuntungkan, karena merekalah yang potensial mendapat aksesibilitas untuk duduk di parlemen.
            Karena posisi strategis (nomor urut yang potensial terpilih) pasti hanya akan ditempati oleh elite dan pengurus partai. Kurang tegasnya mekanisme pencalonan dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2003 yang hanya menekankan proses dilakukan secara ”terbuka dan demokratis” itu sendiri, menyebabkan pengurus partai masih dominan dalam pencalonan anggota legislatif.
           Sementara itu, mekanisme pencalonan yang prosesnya kurang transparan kepada publik, memberikan peluag terjadinya money politics, sehingga meskipun UU No. 12 Tahun 2003 telah mengatur bahwa pencalonan calon wakil rakyat hanya dilakukan oleh atau melaui partai politik (dengan memenuhi persyaratan dan dilakukan secara terbuka dan demokratis), namun dalam praktiknya, secara terselubung sering terjadi penyimpangan. Partai-partai yang telah mapan pola rekrutmennya cenderung lebih dikuasai oleh elite dan pengurus partai, sementara partai-partai kecil kesulitan dalam mencari kader yang akan dicalonkan. Selain itu, cenderung ada manipulasi data calon atau kecurangan lain dalam penempatan nomor urut pada daftar calon tetap.
Hal itu salah satunya disebabkan oleh kriteria rekruitmen pencalonan anggota dewan oleh partai-partai politik masih bersifat adminsttratif belaka. Idealnya ada kaitan antara syarat-syarat menjadi calon anggota legislatif dengan fungsi dan tugas keparlemenan yang akan diemban oleh caleg. Persyaratan-persyaratan yang ada cederung mengabaikan aspek kualitas dan kapabilitas calon serta belum mengarah pada persyaratan yang bersifat fungsional, dalam arti profesionalitas caleg terhadap fungsi-fungsi yang akan dilaksanakan setelah menjadi anggota legislatif.
            Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 yang diterapkan pada pemilu 2004 yang lalu, telah menghasilkan anggota legilatif yang baru. Namun demikian, hasilnya belum menunjukkan peningkatan kualitas anggota legislatif dari hasil pemilu sebelumnya. Salah satunya disebabkan karena persyaratan calon sifatnya masih adminstratif, abstrak dan sulit diukur. Hal ini misalnya menyangkut persyaratan bahwa seorang calon anggota legislatif harus mempunyai ijazah SLTA atau yang sederajat. Ukuran akademis yang dipakai sebagai syarat latar belakang pendidikan calon wakil rakyat hanya pendidikan formal setingkat SLTA.  Sementara itu, keahlian, pengalaman berorganisasi maupun kecakapan teknis lain yang dianggap perlu sebagai faktor pendukung suksesnya kerja sebagai wakil rakyat, sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan. Dampaknya, pemilu masih belum dapat menghasilkan calon-calon yang memiliki performance dan kapabilitas yang lebih memadai, berkaitan dengan fungsi sebagi legislatif yang diembannya.
           Kualitas representasi dan akuntabilitas para wakil rakyat terutama ditentukan oleh kualitas proses rekruitmen  dalam pencalonan anggota lembaga legislatif. Mengingat hakikat anggota lembaga legislatif adalah representasi atau wakil rakyat, maka keterlibatan dan atau akses rakyat dalam proses pencalonan merupakan suatu keniscayaan.  Ruang lingkup agenda penataan kembali proses pencalonan yang dapat dilakukan adalah :
1.       Pemberian  kesempatan  bagi warga negara  untuk  menjadi  calon  anggota legislatif melalui pengumuman pendaftaran bakal calon anggota lembaga legislatif secara terbuka oleh setiap partai peserta pemliu;
  1. Pemberlakuan persyaratan kualifikasi kompetensi tertentu bagi para bakal calon anggota lembaga legislatif, sehingga persyaratan pencalonan tidak semata-mata bersifat administratif;
  2. Penyusunan daftar bakal calon anggota  legislatif oleh  setiap  partai politik peserta pemilu dan diumumkan kepada masyarakat untuk mendapat masukan penyempurnaan dengan tujuan untuk memperoleh bakal calon yang benar-benar layak guna dimasukkan ke dalam daftar calon anggota legislatif;
  3. Pemberlakuan kewajiban bagi partai peserta pemilu untuk menyempurnakan daftar bakal calon anggota lembaga legislatif segera setelah mendapat masukan, saran atau kritikan dari masyarakat, sebelum penyampaian oleh partai politik kepada KPU/KPUD sebagai bahan penyusunan DCS ( Daftar Calon Sementara);
  4. Pemberlakuan  kewajiban  bagi KPU untuk  mengumumkan DCS sekurang-kurangnya selama dua minggu sebelum pengumuman Daftar Calon Tetap  (DCT). Pengumuman DCS mendahului DCT memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menilai rekam jejak caleg sebelum ditetapkan secara final dalam DCT.
C. Penerapan Electoral Threshold Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2003.
           Upaya untuk memperketat persyaratan partai peserta pemilu melalui electoral threshod (ET) telah diberlakukan sejak pemilu 1999.  Namun pada kenyataannya, ketentuan ET ini masih cenderung dipermainkan oleh partai-partai politik. Praktik yang berlaku pada pemilu 2004 memperlihatkan kenyataan sejumlah partai yang memanfaatkan ketentuan ET untuk ”lahir kembali” sebagai partai baru agar dapat mengikuti pemilu berikutnya.  Artinya, sepanjang ketentuan administratif sebagai parpol peserta pemilu dapat terpenuhi sesuai undang-undang, maka partai politik yang gagal ET tersebut tetap akan menjadi peserta pemilu. Partai politik yang pernah ikut pemilu 1999 tetapi gagal memenuhi ketentuan ET dengan mudah menjadi peserta pemilu untuk pemilu 2004.  Dengan demikian, ketentuan electoral threshold dengan mudah diperdaya melalui penggantian nama partai menjelang pemilu. Penggantian nama partai baru menjadi jalan pintas, sehingga yang terjadi adalah seolah-olah lahir partai baru peserta pemilu, padahal partai tersebut hanyalah metamorfosis partai lama yang tidak memenuhi electoral threshold pada pemilu sebelumnya.
           Penerapan ET yang terlalu longgar dan cenderung mudah dimanipulasi pada akhirnya justru akan menciptakan tingkat fragmentasi partai yang relatif tinggi di parlemen dan kurang dapat mendorong upaya penyederhanaan partai politik.  Dengan kata lain, walaupun jumlah partai peserta pemilu berkurang, namun Undang-Undang No 12 Tahun 2003 kurang dapat mendorong terjadinya pembatasan partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen, sehingga kebutuhan akan hadirnya partai mayoritas tidak terjadi.
           Masih adanya peluang bagi partai-partai yang tidak lolos ET untuk membentuk partai politik baru karena lemahnya pengaturan Undang-undang berdampak pada berlomba-lombanya para pengurus partai lama untuk mendirikan partai politik baru dengan berubah nama, bendera dan simbol-simbol lainnya, namun dengan garis besar identitas yang sama. Kecenderungan seperti ini pada dasarnya inkonsisiten dengan tujuan penerapan ET, karena semestinya partai yang telah gagal ET tidak memiliki peluang untuk mengikuti pemilu selanjutnya.
           Untuk mencapai tujuan pemberlakuan ET, maka perlu dipertimbangkan bahwa pengurus partai yang partainya tidak lolos ET namun ternyata yang bersangkutan kemudian membentuk partai politik baru, maka partai politik baru tersebut tidak dapat secara langsung mengikuti pemilu berikutnya dan baru diperbolehkan ikut dalam pemilu setelah satu periode (lima tahun), kecuali bergabung atau meleburkan diri dengan partai-partai yang lolos ET. Pengaturan yang ketat seperti ini diperlukan dengan harapan akan terciptanya penguatan sistem kepartaian di satu pihak dann efektifitas sistem presidensial di pihak lain.
           Apabila penataan sistem kepartaian mengarah pada pembentukan suatu sistem multipartai sederhana maka pengetatan persyaratan keikutsertaan partai dalam pemilu legislatif adalah suatu keniscayaan.  Hal ini perlu diagendakan bukan saja dalam rangka penyederhanaan pengelompokan politik DPR hasil pemilu, melainkan juga dalam upaya memperluas sekaligus memperkuat basis partai-partai peserta pemilu. Ruang lingkup agenda pengetatan yang dapat dilakukan di antaranya adalah :
1.       Memberlakukan persyaratan pendirian partai peserta pemilu sekurang-kurang nya 12 (dua belas) bulan sebelum pemilu diselenggarakan. Persyaratan ini diperlukan agar tersedia cuckup waktu bagi calon partai peserta pemilu memperluas jaringan organisasi serta dikenal oleh masyarakat;
  1. Mempertahankan   persyaratan   electoral threshold  (ET)  bagi   partai   peserta pemilu legislatif  berikutnya yang ditingkatkan secara bertahap, dari 3 (tiga) persen untuk pemilu 2009 menjadi 5 (lima) persen untuk pemilu 2014. Persyaratan ET  2(dua) persen pada pemilu 2004 memang berhasil mengurangi jumlah partai peserta pemilu dari 48 (empat puluh delapan) partai peserta 1999 menjadi separohnya  (24 partai) pada pemilu berikutnya. Persyaratan ET 3 (tiga) persen untuk pemilu 2009 dan  5 (lima) persen untuk pemilu 2014 diharapkan dapat mengurangi jumlah partai peserta pemilu secara lebih signifikan lagi[2];
  2. Partai  politik  yang  tidak lolos  ET 3 % dapat  bergabung  dengan partai yang lolos  ET dan meleburkan diri, atau bergabung dengan partai-partai yang juga tidak tidak lolos  ET 3%  hingga memenuhi  ET 3%, kedua metode dimaksud sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
  3. Menetapkan jumlah minimal anggota partai terdaftar sekurang-kurangnya 1000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (satu permil) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan  KTA ( Kartu Tanda Anggota).
D.  Proposionalitas Nilai Kursi Legislatif Dan Besaran Daerah Pemilihan Menurut  Undang-Undang No 12 Tahun 2003.
           Saat ini, penentuan nilai kursi bagi anggota DPR, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 belum sepenuhnya memperhatikan aspek proporsi jumlah penduduk, yaitu proporsi atau perbandingan antara daerah yang padat penduduknya dengan daerah yang jarang penduduknya. Hal ini menimbulkan ketimpangan nilai kursi, karena dalam praktiknya ada ”kursi mahal” di daerah-daerah pemilihan di jawa, dan ”kursi murah” di daerah-daerah pemilihan luar jawa. Apabila dasar penentuan nilai kursi adalah jumlah penduduk, maka perlu dikembalikan pada prinsip dasar yang sama, yaitu prinsip ” one person one vote ”.  Dengan kata lain, nilai kursi pada tingkat seminimal mungkin tidak terlalu lebar kesenjangannya antara wilayah yang padat dengan wilayah yang jarang penduduknya. Hal ini karena pada dasarnya, legislatif (DPR) mewakili penduduk bukan mewakili wilayah, sehingga daerah yang jumlah penduduknya lebih padat memiliki perwakilan politik yang lebih besar dari pada daerah yang jarang penduduknya.
           Demikian pula yang terjadi pada penetapan daerah pemilihan, dalam hal ini penentuan daerah pemilihan kurang mempertimbangkan perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah. Dampaknya, terjadi ketimpangan besaran daerah pemilihan antara jawa dengan luar jawa. Meskipun kelemahan ini dikompensasi melalui keberadaan lembaga DPD yang didasarkan pada perwakilan wilayah, namun tetap tidak dapat menyetarakan nilai kursi legislatif nasional anatar jawa – luar jawa. Basis perhitungan nilai kursi yang tidak mencerminkan keadilan antar daerah (keseimbangan antara daerah yang padat penduduk dengan yang jarang penduduknya), dipandang perlu dikoreksi, dikembalikan pada prinsip yang semestinya, yaitu jumlah penduduk sebagai dasar dalam menetukan nilai kursi pada setiap daerah pemilihan.
           Salah satu fungsi utama pemilu di dalam sistem demokrasi adalah mengubah suara rakyat menjadi kursi-kursi legislatif. Oleh karena itu  setiap kursi legislatif semestinya mempunyai nilai yang sama atau setara (one person one vote one value). Argumen bahwa nilai kursi legislatif di Jawa lebih mahal dibanding kan luar Jawa adalah dalam rangka keseimbangan perwakilan Jawa – luar Jawa tidak lagi relevan dengan adanya DPD sebagai representasi wilayah  (dalam hal ini provinsi). Dengan demikian ketimpangan keterwakilan Jawa yang padat penduduk dan luar Jawa yang jarang penduduknya ditutupi melalui keterwakilan DPD yang jumlah anggotanya sama pada setiap provinsi.
Ruang lingkup agenda penataan yang bisa dilakukan di antaranya adalah :
1.       Perubahan basis penghitungan nilai kursi sehingga nilai kursi legislatif di Jawa tidak terlalu timpang dengan nilai kursi di luar Jawa. Argumen  bahwa perbedaan nilai kursi di jawa dan luar jawa dimaksudkan agar terdapat keseimbangan perwakilan Jawa – luar Jawa di parlemen tidak relevan lagi karena telah dikompensasi melalui keberadaan lembaga DPD yang jumlah wakilnya sama untuk setiap provinsi;
2.       Penataan kembali besaran daerah pemilihan atas dasar perubahan basis perhitungan nilai kursi yang mendekati sama, sehingga jumlah minimal dan maksimal kursi di setiap daerah pemilihan tidak terlalu timpang sebagaimana pemilu 2004.
Pada dasarnya, sebagian besar materi teknis penyelenggaraan pemilu di dalam UU Pemilu legislatif dan UU Pemilu eksekutif (presiden dan kepala daerah) tidak jauh berbeda satu sama lain. Namun demikian, ada beberapa kekhasan yang membedakan satu dengan yang lainnya. Hal yang penting dalam kaitan ini adalah bahwa regulasi pemilu harus disusun sejelas-jelasnya dan memberikan ketegasan pada setiap tahapan proses pemilu, sehingga dapat menghindarkan terjadinya multi tafsir yang merugikan berbagai pihak dan menghambat jalannya proses pemilu secara keseluruhan.
Berdasarkan pada pengalaman penyelenggaraan pemilu tahun 2004, terdapat beberapa kendala fundamental terkait dengan sistem pemilu, pelanggaran atas persyaratan pencalonan dan mekanisme pencalonan, penyimpangan prinsip one person, one vote dan one value dan proses penyelesaian sengketa pemilu, oleh karena itu perlu penyesuaian pengaturan atau regulasi  pemilu anggota lembaga legislatif, pemilu presiden/wakil presiden dan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, sehingga ada konsistensi di antara berbagai regulasi pemilu tersebut.
-----


DAFTAR  PUSTAKA

Lili Romli (2006) “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan”. Jurnal Politika, Vol2 , No. 2.

Undang-Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang  Repubik  Indonesia  Nomor  12  Tahun  2003  tentang  Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10  Tahun 2004  tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik  Indonesia  Nomor  17  Tahun  2007   tentang   Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005  tentang  Rencana  Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2005 – 2009.



* Bambang Suyatno,SH.,MH. adalah dosen STIH Jenderal Sudirman Lumajang
[1] Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[2] Sebagai pembanding, electotal threshold di Jerman 5 persen, Swedia 4 persen,  Argentina dan  Bolivia 3 persen, sedangkan Meksiko dan  Norwegia masing- masing 2 persen.  Lihat Lili Romli, “Mencari Format Sistem  Kepartaian  Masa Depan” . Jurnal Politika, Vol 2 , No. 2, 2006, hal 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar