ARG 7-1 DESEMBER 2007 COVER
Senin, 31 Desember 2007
Sabtu, 30 Juni 2007
Vol. 6 No. 2, Juni 2007. Dwi Sriyantini.
KEKERASAN
TERHADAP ANAK
DALAM
PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA
Oleh:
Dwi Sriyantini*
ABSTRAK
Kekerasan
yang terjadi pada anak (child abuse) pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk
pengabaian atas hak-hak anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak, yaitu
UU Nomor 23 Tahun 2002. dan dampak yang ditimbulkan dari kekerasan tersebut
disadari atau tidak telah menyebabkan anak-anak kehilangan hal-hal yang paling
mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada
kehidupannya dikemudian hari.
Berbicara masalah anak, berarti kita berbicara mengenai
masa depan bangsa. Karena sebetulnya apa yang kita perbuat kemarin, apa yang
kita rintis hari ini dan apa yang kita rencanakan untuk masa depan adalah
sepenuhnya untuk menyiapkan kehidupan mereka.
Namun sisi lain yang harus kita pahami dan sadari adalah
status dan kondisi anak-anak Indonesia
adalah paradoks. Mengapa?
Secara ideal anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Namun secara
real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang
seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat
serta bakatnya untuk masa depan realitasnya diwarnai data kelam dan
menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan.
Krisis multi dimensi yang mendera Indonesia sejak tahun
1997 sangat memukul kehidupan anak-anak. Menurut Data BPS 2003 terdapat
3.488.309 anak terlantar usia 5 – 18 tahun, balita terlantar 1.178.820 dan anak nakal 193.155. Sedangkan
Data Kasus KDRT di Jawa Timur yang merupakan kompilasi data PPT, LPA, WCC,dan
lain-lain menunjukkan :
|
NO
|
U S I A
|
JUMLAH
|
PROSENTASI
|
|
1
|
0 – 9
TAHUN
|
45
|
4,45 %
|
|
2.
|
10 – 13
TAHUN
|
115
|
11.4 %
|
|
3.
|
19 – 28
TAHUN
|
342
|
33,63 %
|
|
4.
|
29 – 38
TAHUN
|
276
|
27,30 %
|
|
5.
|
> 39
TAHUN
|
69
|
6,82 %
|
|
|
|
1.011
|
100 %
|
Berdasarkan Data Pekerja Seks
Komersial (PSK)
Jawa Timur : 14.279 PSK 4.081 AYLA
Surabaya : 8.440 PSK 2.329
AYLA
Di luar Surabaya : 5.839 PSK 1.752
AYLA
(Draf. Evaperca Jatim
Perlindungan Anak, Malang 1-3 Agustus 2006)
Sedangkan berdasarkan data kekerasan terhadap perempuan
dan anak di Kabupaten Lumajang untuk tiga tahun ini adalah :
Tahun 2004 : 21
kasus
Tahun 2005 : 28
Kasus
Tahun 2006 (Awal Desember) : 26 kasus
(Sumber RPK Polres Lumajang)
Berdasarkan data tersebut di atas jelas terlihat dan
nampaknya kita perlu menyadari bahwa permasalahan anak bukanlah hal yang
sederhana. Penanggulangan permasalahan anak sangat menuntut banyak pihak.
Mereka bukan semata-mata tanggung jawab orang tua, melainkan juga tanggung
jawab negara dan pemerintah serta masyarakat. Oleh karenanya optimalisasi peran
orang tua, negara dan pemerintah serta masyarakat terutama melalui LSM, para
pendidik, khususnya para Guru PAUD yang saat ini hadir punya tempat strategis
untuk mengeliminir dan bahkan mungkin memangkas kekerasan yang terjadi pada
anak sehingga dapat mengupayakan kesejahteraan bagi anak-anak dimasa mendatang.
APAKAH HAK DAN KEBUTUHAN ANAK ?
Menurut Convention on the Right of the Child / Konvensi
Hak Anak yang telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keppres
Nomor 36 Tahun 1990 yang kemudian diadopsi dalam UU Perlindungan Anak UU Nomor
23 Tahun 2002, anak diartikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sedangkan
dalam UU Perkawinan kita UU Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan usia minimal untuk
menikah adalah 16 untuk perempuan dan dan 18 tahun untuk lelaki. Sementara itu
UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan
18 tahun. UU RI Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum
berusia 21 tahun dan belum menikah.
Hak Anak
Sebelum
berlakunya UU Perlindungan Anak, Hak anak yang ada sebagaimana tersebut dalam
Konvensi Hak Anak (KHA) yang
diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990, dimana setiap anak tanpa
memandang ras, jenis kelamin, asal-usul keturunan, agama maupun bahasa,
mempunyai hak-hak yang mencakup 4 bidang, yaitu :
1.
Hak Atas kelangsungan hidup, menyangkut hak atas tingkat hidup yang layak dan pelayanan kesehatan.
2.
Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan
budaya, kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, serta hak anak cacat
atas pelayanan, perlakuan dan perlindungan khusus.
3.
Hak Perlindungan, mencakup perlindungan atas segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam,
dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan.
4. Hak Partisipasi, meliputi
kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk
ikut serta dalam pengabilan keputusan yang menyangkut dirinya. (Huraerah, 2005
: 21-22)
KHA
merupakan instrumen hukum internasional yang paling lengkap, karena mencakup
seluruh aspek hak anak yang dituangkan dalam 37 pasal. Dan sejak tanggal 22
Oktober 2002 yaitu ditetapkannnya UU Perlindungan Anak UU Nomor 23 Tahun 2002,
maka perlindungan bagi anak Indonesia telah memiliki landasan hukum yang lebih
kokoh. Bahkan penyelenggaraannyapun didasarkan atas prinsip-prinsip dasar KHA,
yang meliputi :
- Non Diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan cerminan dari prinsip universalitas HAM.
- Best Interest of the child (yang terbaik bagi anak), artinya bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan utama.
- Survival and Development (kelangsungan hidup dan perkembangan anak), artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak haruslah diakui dan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip indivisibility HAM.
- Respect for the views of the child (penghargaan terhadap pendapat anak), maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.
Setiap
anak sebagaimana manusia lainnya memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang
menuntut untuk dipenuhi sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat
dan wajar. Menurut Brown dan Swanson (Muhidin, 2003 : 3 ) mengatakan, bahwa
kebutuan umum anak adalah perlindungan (keamanan), kasih-sayang,
pendekatan/perhatian dan kesempatan untuk terlihat dalam pengalaman positip
yang dapat menumbuhkembangkan kehidupan mental yang sehat. Sementara itu
Huttman dalam Muhidin (Huraerah, 2005 : 27) memerinci kebutuhan anak meliputi :
1.
Kasih sayang orang tua
2.
Stabilitas emosional
3. Pengertian dan
perhatian
4. Pertumbuhan
kepribadian
5. Dorongan
kreatif
6. Pembinaan kemampuan
intelektual dan ketrampilan dasar
7. Pemeliharaan
kesehatan
8. Pemenuhan
kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat
memadai.
9. Aktivitas
rekreasional yang konstruktif dan pasif.
10. Pemeliharaan, perawatan dan perlindungan.
MENGAPA
TERJADI KEKERASAN TERHADAP ANAK ?
Beberapa
factor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak menurut Edi Suharto
( 1997 : 366-367 ) disebabkan oleh factor internal yang bersumber dari anak itu
sendiri maupun eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat
sekitarnya, seperti :
1.
Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme,
anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketaidaktahuan anak akan
hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.
2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur,
penghasilan tidak cukup dan banyak anak.
3.
keluarga tunggal atau broken home, misalnya perceraian, ketiadaan ibu/ayah
untuk jangka panjang yang tidak memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
4. Keluarga yang belum matang secara psikologis,
ketidakmampuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang
tidak diinginkan (unwanted child), anak yang lahir diluar nikah.
5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah
satu atau kedua orangtua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak
karenan gangguan emosional dan depresi.
6.
Sejarah penelantaran anak. Orangtua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan
salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.
7.
Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukimam kumuh, tergusurnya tempat
bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan
terhadap nilai anak yang terlalu rendah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya
mekanisme kontrol sosial yang stabil.
Sedangkan
menurut Kusnandi Rusmil ( 2004 : 60 ) penyebab atau resiko terjadinya kekerasan
dan penelantaran terhadap anak terbagai atas 3 faktor, yaitu :
1. Faktor orang tua / keluarga
Faktor ini memegang peranan penting
terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak, hal mana disebabkan karena :
a.
Praktik budaya yang merugikan anak
b.
Dibesarkan dengan penganiayaan
c.
Gangguan mental
d.
Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun
social(khusus mempunyai anak sebelum 20 tahun)
e.
Pecandu napza
2. Faktor lingkungan social / komunitas
a.
Kemiskinan
b.
Kondisi sosil-ekonomi rendah
c.
Adanya nilai dalam masyarakat, bahwa anak adalah milik
orangtua sendiri
d.
Status wanita yang dipandang rendah
e.
System keluarga patriarchal
f.
Nilai masyarakat yang terlalu individualis
3. Faktor anak itu sendiri
a.
Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit
kronis disebabkan
Ketergantungan
b. Perilaku menyimpang pada anak.
Menurut Richard J. Gelles (2004 : 4
– 6) kekerasan terhadap anak terjadi sebagai akibat kombinasi dari berbagai
fakctor, yaitu personal, social, dan cultural. Faktor – foktor tersebut dapat
dikelompokkan kedalam 4 kategori utama, yaitu :
1.
Pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational
Transmission of violence)
2.
Stress Sosial/Sosial stress
3.
Isolasi Sosial dan keterlibatan masyarakat bawah (Social
isolation and law community involvement)
4.
Struktur keluarga
( Family structure )
BAGAIMANAKAH DAMPAK KEKERASAN TERHADAP ANAK ?
Menurut Valerie Bivens anggota Social Worker for Child
Protective, California sebagaimana dikutip Dave Pelzer (Priatmoko, 2003 : 161),
bahwa masyarakat pada umumnya tidak menyadari luasnya pengaruh child abuse. Hal ini dapat kita lihat
dari beberapa pendapat pakar sebagai berikut.
Kusnandi
Rusmil (2004 : 61), mengemukakan bahwa anak-anak yang menderita kekerasan,
eksploitasi, pelecehan dan penelantaran menghadapi resiko :
1. Usia yang lebih pendek
2. Kesehatan fisik dan mental
yang buruk
3. Masalah pendidikan
(dropt-out dari sekolah)
4. Kemampuan yang terbatas
sebagai orangtua kelak
5. Menjadi gelandangan
Sedangkan menurut hasil penelitian
YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia) menyimpulkan, bahwa kekerasan dapat
menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan
pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak dikemudian hari,
antara lain :
1.
Cacat tubuh permanen
2.
Kegagalan belajar
3.
Gangguan emosional bahkan menjurus pada gangguan
kepribadian
4.
Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk
mempercayai atau mencintai orang lain
5.
Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina
hubungan baru dengan orang lain.
6.
Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal
7.
Menjadi penganiaya ketika dewasa
8.
Menggunakan napza
9.
Kematian ( Edi Suharto, 1997 : 367-368 )..
Gambaran yang lebih jelas tentang efek tindakan kekerasan
pada anak bisa juga dilihat dari penjelasan Moore (Nugroho, 1992 : 41) yang
mengamati beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan psikologis.
Diungkapkan, bahwa efek tindakan kekerasan tersebut demikian luas dan secara
umum dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori, yaitu ada yang menjadi
negatif dan agresif serta mudah frustasi, ada yang menjadi sangat pasif dan
apatis, ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan
sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orang tuanya (parental
extension), mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri (chronically
law self-esteem), ada pula yang sulit menjalin relasi dengan individu lain,
dan yang lebih parah adalah timbulnya rasa benci pada dirinya sendiri (self-hate)
karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga menyebabkan
penyiksaan terhadap dirinya, dan akhirnya menimbulkan tindakan menyakiti
dirinya sendiri seperti bunuh diri dsb.
Selain
akibat psikologis tersebut, Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik,
seperti perkembangan tubuh yang kurang normal, juga rusaknya system syaraf, dan
sebagainya.
Dari uraian di atas jelas terlihat dampak dari tindakan
kekerasan terhadap anak begitu mengenaskan. Mungkin belum banyak orang
menyadari bahwa pemukulan yang bersifat fisik itu bisa menyebabkan kerusakan
emosional anak.
Misalnya
anak-anak yang masih kecil sering susah tidur dan bangun ditengah malam dengan
menjerit ketakutan, ada yang menderita psikosomatik, misalnya ashma. Beberapa
anak ada yang sedih sedemikian rupa sehingga sering muntah setelah makan dan
berat badanya turun drastic. Ketika mereka semakin besar, anak laki-laki
cenderung sangat agresif dan bermusuhan dengan orang lain, semnetara anak
perempuan sering mengalami kemunduran dan menarik diri kedalam dunia fantasinya
sendiri.. Namun dampak yang paling menyedihkan adalah bahwa anak perempuan
kemudian merasa semua anak pria itu menyakiti (dan menyebabkan beberapa
diantaranya membenci pria), sedangkan anak laki-laki kemudian percaya bahwa
laki-laki mempunyai hak untuk memukul isterinya.
Seorang
wanita bercerita bahwa ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan suaminya
ketika melihat anak lelakinya yang berumur 8 tahun menganiaya adik
perempuannya. “Hal itu sungguh membuatku marah. Saya pegang dia dan saya tanya,
apakah dia mengetahui apa yang sedang dilakukannya. Ia melihat kemata saya dan
berkata : “Jika ayah dapat melakukannya, demikian juga saya.”(Nugroho, 2003 :
17).
Anak-anak memang selalu peka. Sering orangtua tidak
menyadari bahwa apa yang terjadi diantara mereka begitu mempengaruhi anak.
Sering dikatakan, anak merupakan cermin dari apa yang terjadi dalam suatu rumah
tangga. Jika suasana keluarga sehat dan bahagia, maka wajah anak begitu ceria
dan berseri. Sebaliknya jika mereka murung dan sedih, biasanya telah terjadi
sesuatu yang berkaitan dengan orang tuanya. Sebagai wadah sosialisasi primer,
dimana anak belajar untuk pertama kalinya mengenal nilai-nilai dan cara
bertingkah laku, perilaku orangtua sering mempengaruhi perilaku anak-anaknya
kelak. Jika kekerasan begitu dominan, tidaklah mengherankan jika anak-anak
kemudian melakukannya begitu sering terjadi dalam keluarganya, maka ia
menganggap hal itu sebagai hal yang ”normal” dan sudah seharusnya.
BAGAIMANAKAH STRATEGI UNTUK MENGELIMINER, MENCEGAH DAN
MENANGANI KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG TERJADI DISEKITAR KITA?
Strategi
yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah kekerasan terhadap anak adalah
mengeliminasi, mencegah dan menangani secara terpadu dan menyeluruh melalui :
1. Penguatan kapasitas kelembagaan :
a.
Penguatan kapasitas kelembagaan dan jaringan aksi harus
selalu diperhatikan dan ditingkatkan agar komitmen dan langkah yang dirumuskan
betul-betul diimplementasikan.
b.
Peningkatan SDM
c.
Pengembangan dan penguatan jaringan melalui pelatihan,
fasilitasi potensi masyarakat yang dapat mengambil peran.
d.
Melakukan evaluasi dan monitoring thd. Issue perlindungan
anak.
2. Peningkatan Kesadaran Masyarakat
a.
Dalam bentuk pencegahan dan perlindungan serta pemulihan
anak-anak yang menjadi korban.
b.
Penanganan program berbasis keluaraga dan masyarakat
c.
Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif
untuk kelompok rentan dan memungkinan munculnya
dampak pencegahan yang berasal dari masyarakat.
3. Pengembangan dan Advokasi Penegakan Hukum
4. Pengembangan program aksi, melalui :
a.
Pengembangan data dan informasi kekerasan terhadap anak
b.
Pemulihan dan reintegrasi social bagi anak.
c.
Peningkatan akses dan kesempatan pendidikan, kesehatan
anak dan peningkatan ekonomi keluarga
5. Pengembangan partisipasi anak.
PENUTUP
Kekerasan
yang terjadi pada anak (child abuse) pada dasarnya adalah merupakan
bentuk-bentuk pengabaian atas hak-hak anak sebagaimana diatur dalam UU
Perlindungan Anak, yaitu UU Nomor 23 Tahun 2002. dan dampak yang ditimbulkan
dari kekerasan tersebut disadari atau tidak telah menyebabkan anak-anak
kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya
berdampak sangat serius pada kehidupannya dikemudian hari.
-----
DAFTAR PUSTAKA
Ajun
Khandani,Spsi.,Djoenianto,SH., 2006, Saatnya Tahu Tentang Anak, Plan Indonesia,
Surabaya
Abu
Huraerah, MSi.,2005, Kekerasan Terhadap Anak, Penerbit
Nuansa, Bandung
Syarif
Muhidin, 1977, Pengantar Kesejahteraan Sosial, STKS, Bandung
Fentini
Nugroho, 2002, Kekerasan dalam Keluarga, Fisip-UI, Jakarta
Kusnandi
Rusmil, 2204, Penganiayaan dan Kekerasan Terhadap Anak, Bandung
Edi
Suharto, 1997, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial Lembah Studi
Pembanguan, Bandung
-------,
2003, Pendekatan pekerjaan Sosial dalam mengatasi MasalahAnak, Lembah
Studi Pembangunan, Bandung
Sal
Severe, PHd., 2003, Bagaimana Bersikap Pada Anak Agar Anak Prasekolah Anda Bersikap Baik, Gramedia,
Jakarta
Wagiati
Soetodjo,Dr.,SH,MS., Hukum Pidana Anak, Aditama, Bandung
Penanggulangan
perdagangan Perempuan dan Anak (Pengalaman Sejumlah LSM di Indfonesia)
Rencana
Aksi Komisi Perlindungan Anak Propinsi Jawa Timur Tahun 2004 - 2008
Langganan:
Komentar (Atom)