Sabtu, 30 Desember 2006

ARG VI-1 DESEMBER 2006 1 ABU ROCHMAD

ARG VI-1 DESEMBER 2006 1 ABU ROCHMAD

ARG VI-1 DESEMBER 2006 11 SRIADI

ARG VI-1 DESEMBER 2006 11 SRIADI

ARG VI-1 DESEMBER 2006 23 AI WISNUBROTO

ARG VI-1 DESEMBER 2006 23 AI WISNUBROTO

ARG VI-1 DESEMBER 2006 37 SUPARNYO

ARG VI-1 DESEMBER 2006 37 SUPARNYO

Arg VI-1 DESEMBER 2006 67 JATI NUGROHO

Arg VI-1 DESEMBER 2006 67 JATI NUGROHO

Jumat, 30 Juni 2006

ARG V-2 JUNI 2006 COVER

ARG V-2 JUNI 2006 COVER

ARG V-2 JUNI 2006 81-100 BUSYRA AZHERI

ARG V-2 JUNI 2006 81-100 BUSYRA AZHERI

ARG V-2 JUNI 2006 101-110 EDY FAISHAL MUTTAQIN

ARG V-2 JUNI 2006 101-110 EDY FAISHAL MUTTAQIN

ARG V-2 JUNI 2006 111-124 SIRAJUDDIN

ARG V-2 JUNI 2006 111-124 SIRAJUDDIN

ARG V-2 JUNI 2006 125-133 TRI SUSILOWATI

ARG V-2 JUNI 2006 125-133 TRI SUSILOWATI

ARG V-2 JUNI 2006 144-158 ABD RACHMAN A LATIEF

ARG V-2 JUNI 2006 144-158 ABD RACHMAN A LATIEF

Vol. 5 No. 2, Juni 2006. Abd. Rachman A. Latif.

IMPLEMETASI PASAL 18 UUD 1945 DALAM KAITANNYA DENGAN HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
Oleh:
ABD. RACHMAN A. LATIF*

ABSTRAK
Undang-Undang Otonomi Daerah bersumber pada pasal 18 UUD 1945 yang implementasinya bisa berupa otonomi formil, materiil ataupun riil dan berkembang menjadi otonomi yang bertanggung jawab, nyata dan dinamis. Ini semua tergantung pada kejelian para pengelola negara, teknologi, potensi alam, budaya dan sebagainya.

A. PENDAHULUAN
Pemahaman otonomi daerah  baik pada zaman orde lama, orde baru dan zaman reformasi ini kesemuanya berdasarkan pada Undang-Undang Daerah 1945 dengan fase-fasennya. Dengan demikian semua memahaminya menjalankan UUD dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum dan bersistem konstitusi / sistem Kontitusional.
Maka sesuai dengan semangat pasal 18 UUD 1945 seyogyanya pemahaman desentralisasi lebih diarahkan pada otonomi. Otonomi mengandung pengertian kemandirian untuk mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan yang diserahkan atau dibiarkan sebagai urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah. Jadi esensi otonomi adalah kemandirian yaitu kebebasan untuk berinisiatif dan bertanggung jawab sendiri dalam mengatur dan mengurus pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya.
Otonomi/desentralisasi bukan hanya bermakna efisiensi, melainkan juga sebagai sarana demokrasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan Daerah (pemerintahan otonom) diselenggarakan dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintah negara. Dasar permusyawaratan hanya dijalankan dalam corak pemerintahan demokrasi. Sedangkan demokrasi memberikan tempat keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintah, baik secara individual maupun melalui kelompok organisasi masyarakat atau politik.
Ditinjau dari sudut pandang ilmu hukum delegasi yang semata-mata berisi delegasi wewenang (pemecahan wewenang ) dari satuan pemerintahan yang lebih tinggi kepada bagian-bagiannya bukanlah desentralisasi melainkan sentralisasi. Setiap bentuk otonomi selalu mengandung muatan desentralisasi. Tiada otonomi tanpa desentralisasi. Bahkan dalam pandangan ilmu hukum isi desentralisasi tidak lain dari otonomi. Tetapi otonomi tidak sekedar pemencaran wewenang ( Bagir Manan, 1997: 269 ).
Bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki sejarah desentralisasi yang cukup panjang, yakni mulai dari Decentralisastie wet 1903 (Stbld 1903 / 329 ) pada Zaman Hindia Belanda sampai ke Undang-Undang Nomor Tahun 1999 sekarang ini. Tetapi tarik menarik kewenangan antara pemerintaha pusat dengan pemerintaha daerah masisaja terus terjsdi. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi merupakan sesuatu yang bersifat dinamis, dan persoalan otonomi Daerah tidak akan pernah selesai sepanjang kebutuhan dan keinginan masyarakat itu sendiri masih terus berubah
Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah diharapkan dapat menjadi batu penjuru bagi terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis. Sebab pada dasarnya pemberian otonomi dalam rangka desentralisasi diarahkan untuk peningkatan penyelenggaraan pemerintahaan dengan melibatkan seluruh komponen yang ada di Daerah.
Untuk menjalankan penyelenggaraan pemerintahan dimaksud tentu diperlukan manajemen baru yang sesuai dengan dinamika prersoalan yang dihadapi dalam otonomi Daerah. Khususnya bagi Daerah yang langsung memegang kendali otonomi harus memiliki manajemen yang sesuai dengan tuntunan Zaman. Sebab manajemen menjadi faktor yang sangat penting bagi keberhasilan implementasi Otonomi Daerah di Indonesia.

B. PERMASALAHAN
Permasalahan dalam tulisan ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana implementasi pasal 18 UUD 1945 dalam kaitannya dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah?

C. PEMBAHASAN
1. ASAS-ASAS OTONOMI DAERAH
Pendiri negara-negara bersepakat untuk mendirikan negaara berdasar prinsip maka dengan sendirinya prinsip otonomi daerah juga menyertainya. Hal ini menjadi salah satu tuntutan peeenting bagi sebuah sistem demokrasi adalaah adanya pancaran kekuasaan baik secara horizontal (ke samping) maupun secaara vertikal (atas bawah ). Pemencaran kekuasaan secara horizontal ditandai oleh adanya pembentukan lembaga tinggi-lembaga tinggi negara ytang sejajar seperti DPR, Presiden, BPK, MA dan MPR yang diatur dengan mekanisme chek and baalance, sedangkan pemencaran vertikal ditandai oleh adanya desentralisasi dan otonomi daerah. (Moh .Mahfud MD,(1999:186).
Adanya desentralisasi dan otonomi daerah diyakini oleh pendiri negara RI sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi dapat dipahami dari pernyataan Hatta bahwa : Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa dan di daerah ... Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan–peraturan sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan peraturan–peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi). Keadaan yang seperti itu penting sekali karena keperluan tiap-tiap tempa tdan dalam satu negeri tidak sama melainkan berlain- lain (Moh.Mahfud MD., 1999 : 197).        
Ada beberapa asas otonomi antara lain :    
a. Otonomi Formal
Dalam asas otonomi formal pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab antara pusat dan dareh untuk mengatur rumah tanggganya sendiri tidak dirinci dalam undang-undang. Pandangan dipakai dalam asas ini adalah bahwa tidak ada perbedaan sifat antara urusaan yang diselenggarakan oleh pusat dan daerah. Pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab tersebut semata-mata berdasarkan atas keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan akan berhasil baik, jika diurus dan diatur oleh satuan pemerintah tertentu dan sebaliknya. Dengan demikian asas otonomi formil memberikan keleluasaan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagian urusan rumah tangganya sendiri. (Moh. Mahfud MD., 1998 : 96).
b.Otonomi Material
Berbalikan dengan asas otonomi formal, asas otonomi material memuat secara rinci (dalam peraturan perundang-undangan) permbagian wewenang, tugas dan  tanggung jawab antara pusat dan daerah. Semuanya ditetapkan secara pasti dan jelas sehingga derah memiliki pedoman yang jelas. Titik tolak pemikiran asas otonomi material adalah adanya perbedaan mendasar antara urusan pemerintahan pusaat dan pemerintahandaaerah. Urusan- urusan pemerintahan itu dapat dipilah-pilahkan dalam berbagai lingkungan satuan pemerintahan (Moh. Mahmud MD., 1998: 97).

c. Otonomi Riil
 Asas otonomi riil merupakan jalan tengah antara asas otonomi formaal dan material. Dalam asas ini penyerahan urusan kepada daerah otonom didasarkan pada faktor-faktor riil. Manakah yang lebih dominan antara asas formal dan material dalam asas riil ini. Menurut Bagir Manan terdapat kesan bahwa sebagai jalan tengah asas otonomi riil lebih mengutamakan asas formalnya.
Hal ini arena asas otonomi formal mengandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dan kemandirian bagi daerah sementara asas otonomi material akan merangsang timbulnya ketidak puasan daerah dan “ spaning hubungan antara pusat dan daerah”. Dalam asas riil, asas material berperan  memberikan kepastian sejak awal mengenai urusan daerah. Melalui asas material urusan pangkal diserahkan dan dikembangkan dengan asas formal yang lebih memberikan kebebasan dan kemandirian. Aspek asas otonomi material dalam bentuk penyerahan urusan pangkal menjadi salah satu ciri yang membedakan asas otonomi laainya (Moh. Mahmud MD., 1998 : 99 ).
Demikian juga pendapat dari Tagueville yang dikutip oleh Rienow mengkaitkan otnomi ini dengan demokrasi yang antaralain mengatakan suatu pemerintahan merdrka yang tidak membangun semangat kedaulatan rakyat karena didalamnya tidak ada semangat kebebasan. Dikemukakanya bahwa salah satu karakter yaang menonjol dari negara demokrasi adanya kebebasan sehingga adanya sinstitusi pemerintahan di tingkat daerah memilih minimal dua makna :
Pertama. Supaya ada kebiasaan bagi rakyat untuk memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan secara langsung dengan mereka.
Kedua, terbuka kesempatan untuk membuat peraturan dan programnya sendiri bagi setiap komunitas yang memiliki tuntutan berbagai masalah. (Moh. Mahmud MD., 1998 : 186).
Sementara kaalau melihat perundang- undangan kita menganut asas otonomi yang berubah-ubah. Kadang kala menganut asas riil kadang kala menganut otonomi formil, demikian juga otonomi material. Otonomi riil dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Tap MPRS XXI/66, TapMPR IV/78 dan Undang-Undang Nomor 22Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi material pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, sedang otonomi formil pada Undang-Un daang Nomor 1 Tahun 1957, Penpres Nomor 6 Tahun 1959. Hal demikian kalau melihat pada pendapat akademik sebagaimana tersebut di atas tidak menjadi persoalan karena antara otonomi riil dan materiil sama-sama mengandung kelemahan, sedangkan otonomi riil merupakan jalan tengah.
2. HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
Penyelenggaran Otonomi Daerah dalam rangka desentralisasi merupakan suatu pekerjaan yang komplaks dan berkesinambungan. Pada tahap awal desen tralisasi, dilakukan transfer berbagai jenis kewenangan dari pemerintah pusat ke berbagai institusi, terutama institusi pemerintah subnasional. Setelah transfer kewenangan akan diikuti dengan transfer pembiayaan, dokumen-dokumen serta sarana dan prasarana. Setelah tahap-tahap tersebut selesai, bukan berarti pekerjaan beres, justru muncul serangkaian tantangan baru berkaitan dengan kemampuan dari institusi yang memperoleh transfer kewenangan untuk mengelolanya secara baik dan benar. Hubungan antara pusat dan daerah tanpa manajemen yang baik, tujuandesentralisasi yakni untuk demokratisasi, efektivitas dan efisiensi serta keadilan tidak akan tercapai, bahkan muncul sumber-sumber inifisiensi, inefektivitas, serta ketidakadilan di sejumlah daerah yang dapat menjadi pemicu bagi terjadinya krisis multi-dimensional baru. Dengan kata lain, untuk menjalankan otonomi daerah diperlukan “manajemen baru” yaang sesuai dengan dinamika persoalan yang dihadapi. Manajemen menjadi faktor yang sangat penting bagi keberhasilan implementasiotonomi daerah di Indddinesia.
Apabila sampai saat ini banyak Daeraf Otonomi tidak mengalami kaemajuan, bahkan menjadi sangat tergantung pada pemerintah pusat, tentu ada penyebab utamanya (kausa prima). Salah satu yang utama atau yang terutama adalah kemampuan manajerial dari kesatuan masyarakat hukum tersebut, termasuk pemerintah daerahnya untuk menggunakan hak dan menjalankan kewenangannya. Adanya ekses terhadap hubungan antara pusat dan daerah dan pelaksanaannya, untuk itu perlu melihat pada hubungan tersebut.
Pelaksanaan Asas-asas Hubungan pemerintah Pusat dan Daerah tergambar sebagai berikut:


Sifat Pemberian Kewenangan
Perbedaan Kewenangan Pada Pemerintah
Pusat
Wilayah
Daerah
1
2
3
4
5
1. Desen-tralisasi

Penyerahan
1. Pengawasan
2. Pengendalian
3. Pertanggung jawaban Umum
1. Koordina-si
2. Penga-wasan
1.  Kebijaksanaan
2.  Perencanaan
3.  Pelaksanaan
4.  Pembiayaan (Kecuali Gaji)
3. Dekon-sentra-si
4.        
Pelimpahan
1.       Kebijaksa-naan
2.       Perencana-an
Koordinasi
1.    Menunjang
2.    Melengkapi
3.    Pembiayaan
4.    Pengawasan
3. Pem-bantuan
(Medebe-wind)
Pengikutsertaan
1. Kebijaksanaan
2. Perencanaan
3. Pelaksanaan
4. Pembiayaan
5. Pengawasan



Dengan demikan otonomi formil, materiil dan riil bisa berkembang menjadi otonomi nyata, dinamis dan bertanggung jawab, sedangkan tehnis hubungan antara pusat dan daerah berupa desentralisasi, pelimpahan dan pengikutsertaan wewenang. Berkait dengan masih adanya demokrasi / tidaknya yang dapat mempengaruhi secara administratif.
Sedangkan tehnis administratif lainnya berupa pengawasan, koodinasi terhadap program yang berupa pembiayaan, perencanaan dan kebijaksanaan menuju dan otonomi formil, sebagaimana tersebut di atas merupakan politik otonomi sehingga bagaimana peran Kepala daerah, DPRD, BPH, Instansi-instansi terkait ini semua merupakan politik otonomi yang terkait dan dipengaruhi dengan konfigurasi politik.
Tolak tarik antra konfigurasi politik yang demokratis dan yang otoriter terjadi sepanjang sejarah negara RI. Sehingga pola hubungan pusaat dan daerah juga memberi kesaan terjadi proses eksperimental karena berubah sejalan dengan perubahan politiknya. Pada awal kemerdekaan sampai Tahun 1959 konfigurasi politik kita tampil secara demokratis sehingga hubungan pusat dan daerah diatur secara hukum dengan ketentuan yang sangat desentralistik dan memberi otonomi yang luas sebagaimana terlihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1746 dan Nomor 1 Tahun 1957.
Ketika konfigurasi politik berubah menjadi sangat otoriter yang ditandai dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dengan demokrasi terpimpinnya, maka ketentuan-ketentuan mengenai pemerintah daerah juga menjadi sangat sentralistik dengan hampir-hanpir tidak ada otonomi sebagaimana dapat dilihat pada penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 ( M. Solly Lubis, 1997: 195).
Ketika terjadi perubahan dari Orde lama ke Orde baru, yang pada awal perjalanannya Orde baru juga menggariskan sistim politik yang demokratis dengan penekanan pada kehidupan politik konstitusional, maka MPRS mengeluarkan ketetapan Nomor XXI/66 yang menggariskan prinsip otonomi nyata yang seluas-luasnya. Namun penekanan pada konfigurasi politikdemokratis ini hanya berlangsung sebentar dan sebagai strategi awal sebelum pemerintah berhasil membuat format politikbaaru yaang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 dan 15 Tahun 1969 (tentang pemilu dan tentang Susduk MPR / DPR / DPRD).
Kontigurasi politik Indonesia ternyata kembali menjadi otoriter sehingga prroduk hukum tentang hubungan pusat dan daerah diletakan di dalam bingkai yang sentralistik dan dekosentratif. Ini dapat dilihat pada pencabutan Tap MPRS Nomor : XXI / MPRS / 1966 untuk kemudian dibuat Tap IV / 73 tentang GBHN yang didalamnya terdapat garis baaru tentaang ekonomi daerah menjadi otonomi nyata dan bertabggung jawab yang kemudian dielaborasi lagi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 (Moh. Mahfud MD., 1999:196).
Undang-Undang inipun dimaksudkan untuk menjawab tantangan bagi kehidupan politik Orde Baru yang dihadapkan bagaimana membangun legitimasi kekuasaan, membangun stabilitas yang dapat menjamin kelancaran program pembangunan ekonomi yang berparadigma pertumbuhan dan bagaimana membangun kekuasaan pemerintah pusat yang memponyai kewenangan di daerah-daerah, sehingga setelah tahun 1973 praktis tidak ada produk-produk legislatif baik pusat dan daerah yang muncul dan berakhir dengan lengsernya Soeharto pada bulan Mei 1998.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada pemerintah, barulah timbul dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai jawaban adanya disintegrasi bangsa. Sedangkan pemerintahan menginginkan adanya kesatuan (integrasi) dan demokrasi berjalan seiring. Demokrasi menuntut kebebasan bagi masyarakat integrasi lebih menghendaki pembatasan-pembatasan. Sedangkan Clfford Geertz mengatakan bahwa di negara-negara baru seringkali terjadi kegoncangan sosial yang mengancam ikatan kebangsaan karena berbenturan antara demokrasi dan integrasi. (Moh. Mahmud MD., 1999:5).
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Nomor 25 Tahun 1999 masih bersifat experimental sehingga apa yang dikatakan oleh Cliffond Geertz perlu dibuktikan dengan kenyataan selanjutnya. Apa saja yang perlu diperhatikan dan apa-apa saja yang perlu diwaspadai. Padahal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan 25 Tahun 1999 lebih maju dan lebih demokratis dibanding undang-undang sebelumnya, namun dalam pelaksanaannyayaang perlu diantisipasi / diwaspadai adaalah sistem dan organnya, serta interpretasi yang bersifat terbuka sehingga undang-undang bisa ditafsirkan lagi oleh pemerintah secara sefihak dengan peraturan berdasarkan atribusi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah oleh undang-undang (Moh. Mahfud MD., 1999 : 12) ini konsep yang bersifat umum masih perlu bukti dalam fakkta.
Fakta yang terjadi di Sidoarjo di mana kasus Tomy Suharto (bulan november 1999) membagikan dividen saham yang sulit dicarikan, karena sahamnya palsu sehingga Bank perlu mengklarifikasi. Berhasilnya Tomy Suharto membuat saham palsu bekerjasama dengan Lembaga Reksadana yang terkenal dan berhasil mengumpulkan identitas dari penduduk setempat (Sidoarjo) sedangkan Tomy sendiri terbentur pada kepemilikan saham yang dimiliki secara pribadi (Hapus Intermeda). Demikian kasus pajak Gudang Garam Kediri yang berkisar 3 trilyun tiap tahunnya harus disetor ke pusat (S.K. Surabaya Post, 28-11-1999).
Ini bukti yang dikatakan oleh Moh. Mahmud, MD., bahkan pada level pelaksanaan operasional kota kediri atau daerah lainnya (kalau ada) tinggal gigit jari. Padahal kalau uang Rp. 3 trilyun tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur kota Kediri maka akan jauh lebih maju. Ini semata-mata “open interpretasi” yang memberikan peluang adanya KKN. Kami kira ini ada kaitannya juga dengan konfigurasi politik. Kalau ini tidak diwaspadai/diantisipasi putra-putra daerah yang potensial akan lari ke pusat/Jakarta untuk memperebutkan kue bangunan. Sehingga gagasan. Marwah Daud Ibrahim wajar menjadi tuntutannya karena beliau menjadi bagian IRAMA SUKA dan praktek-praktek KKN model baru akan menjadi marak (SK. Republik, 25-10-2001).

3. IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH                                             
Setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dilaksanakan secara efektif sejak 1 januari 2001, dapat ditengarai gejala-gejala umum baik yang bersifat positif kearah kemajuan maupun yang bersifat negatif atau merupakan kekurangan. Uraiannya yaitu sebagai berikut.
Dampak Positif
1.       Hak-hak dasar daerah otonom yang meliputi kebebasan untuk memilih pemimpinnya sendiri, kebebasan memiliki, mengelola dan memanfaatkan sumber keuangannya sendiri, kebebasan untuk membuat aturan hukum sendiri, serta kebebasan untuk memiliki pegawainya sendiri secara substansi telah diberikan kepada daerah otonom. Dengan Hak-hak dasar tersebut, daerah otonom memiliki keleluasan yang sangat luas untuk menggunakannya. Kebebasan tersebut dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya,  kepentingan umum serta asas kepatutan.
2.       Mulai berkembangnya inisiatif dan kreativitas Daerah untuk membangun daerahnya berkompetisi dengan dearah-daerah otonom lainnya. Dengan memiliki kebebasaan untuk menyusun rencana pembangunan sendiri, daerah dapat mendayagunakan potensinya untuk kesejahteraan masyarakat. Pada masa mendatang diharapkan akan muncul berbagai pusat pertumbuhan baru di berbagai daerah yang potensial, sehingga mengurangi aktivitas yang bersifat “Jakarta sentris”.
3.       Mulai tumbuhnya iklim demokrasi dengan lebih banyak melibatkan masyarakat berpartisipasi pada tahap perumusan, implementasi permanfaatan serta evaluasi kebijakan publik yang di buat oleh Pemerintah Daerah-bukan hanya berpartisipasi pada tahapan pelaksanaan kebijakan seperti yang selama ini terjadi.
4.       Mulai munculnya endependensi relatif dari Daerah terhadap Pemerintah Pusat dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadaapi di daerah. Masalah Daerah diselesaikan di Daerah, dengan cara dan oleh masyarakat setempat. Dilihat dari ketahanan nasional, hal semacam itu bersifat menguntungkan karena masalah setempat menjadi terisolasi tidak meluas menjadi masalah nasional. (Sadu Wasistiono, 2002:12).
Dampak negatif
Setiap perubahan selain menampilkan sisi positif juga sekaligus menampilkan sisi negatif. Dengan memahami berbagai kekurangan akan dapat diambil langkah antisipasi untuk mengawasinya-tanpa perlu mencari siapa yang bersalah. Dari pengamatan implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 selama tiga tahun dapat diinventarisasi gejala umum dampak negatif yaitu sebagai berikut.
1.       Mengutnya rasa kedaerahan seempit yang apabila tidak dicermati dan diantisipasi secara tepat akan besifat kontra produktif  terhadap upaya membangun wawasan kebangsaan. Rrasa kedaerahan yang sempit tersebut nampak dalam hal pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Daerah, Kesempatan berusaha, penyusunan rencana pembangunan, pemberian layanan umum pada masyarakat maupun dalam hal pengisian jabatan birokrasi Daerah.
2.       Munculnya gejala ekonomi biaya tinggi sebagai akibat Daerah hanya mengejar kepentingan jangka pendek dalam menghimpun pendapatan Daerah membiayai otonomi Daerah. Selain itu juga ada gejala pengabaian terhadap kelestarian lingkungan karena eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tetapi kurang terencana dengan baik.
3.       Otonomi Daerah masih dipahami secara sempit sehingga hanya Pemerinta Daerah saja yang sibuk, sedangkan masyarak luas belum dilibatkan secara akktif. Padahal otonomi diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum, bukan hanya kepada Pemerintah Daerah saja. Hal ini dapat dilihat antara lain dari alokasi penggunaan dana APBD yang lebih banyak untuk kepentingan birokrasi dan DPRD dari pada kepentingan masyarakat luas.
4.       Ada gejala ketidak patuhan Daerah dan atau penafsiran secara sepihak terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Padahal demokrasi memerlukan ketaatan hukum yang tinggi. Demokrasi tanpa penegakan hanya akan menciptakan anarki. Pada sisi lain, tanpa adanya kepastian hukum, investor akan enggan menanamkan modal di Daerah. Hal tersebut pada giliranya justru akan membuat satu Daerah tertinggal dibandingkan daerah lainnya.
5.       Ada kecenderungan beralihnya.kekuasan di Daerah dari eksekutif (executive heavy) ke tangan legeslatif (legeslative heavy) yang diikuti pula dengan pergeseran pusat-pusat korupsinya. Terlebih lagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak mengatur mekanisme pengawasan terhadap kinerja DPRD. Perkembangan demokrasi, yang mensyaratkan adanya “check and balance power” (Sadu Wasistiono, 2002 :
Kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan 25 Tahun 1999 memberikan isyarat bahwa otonomi daerah tidak sekedar pendelegasian otoritas dan penambahan sejumlah urusan kepada daerah. Tetapi lebih dari itu merupakan momentum yang sangat tepat untuk mengembalikan hak otonomi masyarakat di daerah, berikut membangkitkan partisipasi mereka dalam proses pembangunan secara wajar, adil dan demokratis. Yang lebih penting adalah bagaimana menyeimbangkan aspek kedaulatan rakyat dan kesiapan daerah. Sebab antara daerah yang satu dengan daerah yang lain mempunyai karekteristik berbeda. Sementara substansi daerah otonom dan pengelolaannya akan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia, sumberdaya alam, teknologi, kemampuan teknis dan menegerial, tata nilai dan tradisi serta kelembagaan yang mengakar dan berkembang dalam suatu daerah yang kondisinya tidak seragam.
Di samping itu masih banyak tantangan yang harus dihadapi dan dibenahi khususnya yang berkaitan dengan SDM di daerah. Karena itu yang mendesak dan perlu disiapkan adalah perlunya melakukan restrukturisasi, revitalisasi dan fungsi analisasi pemerintah daerah. Mengendepankan kualitas/profesional sehingga masyarakat akan tetap percaya pada pemerintah. Oleh karena itu aparatur pemerintah dalamera reformasi ini harus bersikap :       
Pertama : Punya kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada bagi pertumbuhan ekonomi, keberanian mengambil resiko dalam memanfaatkan peluang dan kemampuan menggeser alokasi sumber kegiatan yang berproduktivitas tinggi.
Kedua :  Punya keberanian mengambil keputusan dan langkah-langkah yang perlu mengacu pada misi yang ingin dicapai, dan tidak mengacu semata-mata pada peraturan yang berlaku.
Ketiga : Kemampuan mengindentifikasikan subyek-subyek yang mempunyai potensi memberikan berbagai masukan dan sumber  bagi prises pembangunan daerah.
Keempat :  Kemampuan memainkan peranan sebagai fasilator yakni meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbu dan berkembang dengan kekuatan sendiri.

4. PARADIGMA BARU
   Untuk memahami seluruh Undang-Undang secara komprehensif, perlu dipahami filosofi dan suasana batin pada saat Undang-Undang tersebut disusun. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disusun dalam era reformasi yang menuntut adanya perubahan secara mendasar sistem nilai kehidupan berbangsa, bernegara, serta berpemerintahan, termasuk sistem nilai otonomi daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai hukum positif saat ini, yang secara efektif dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2001, juga memiliki nuansa berbeda dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya. Hal ini yang tidak kalah pentingnya adalah meluruskan paradigma lama dengan paradigma baru dalam mendifinisikan otonomi daerah.
         Setiap paradigma baru itu meliputi :
Pertama, memberikan otonomi politik seluas-luasnya dan mengakui pluralisme pemerintahan daerah. Daerah diberi keleluasaan mengambil keputusan-keputusan politik. Sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Dalam hubungan ini pusat selayaknya memperbesar kewenangan politik daerah otonomi. Rakyat daerah harus diberi kebebasan untuk memilih kepada daerahnya secara langsung. Badan perwakilan di daerah benar-benar diberi kewenangan untuk menjalankan fungsinya sebagai kebijakan dan pengontrol jalanya pelaksanaan kebijakan serta didekatkan dengan rakyat (melalui pemilu sistem distrik). Dengan demikian eksekutif tidak lagi menjadi pihak yang mendominasi penyelenggaraan pemerintah daerah. Konsekuensinya, kepada daerah harus benar-benar merupakan jabatan politis, bukan perpanjangan birokratis (baik sipil maupun militer).
Dengan itu, akan dapat dicegah orang-orang yang tidak acceptable dan capable terpilih menjadi kepala daerah. Sistem seperti ini akan dapat memberi tempat bagi putra-putri terbaik daerah memimpindan menunjukkan daerahnya.
Kedua, tugas dan kewenangan  daerah dalam menentukan keuangandaerah diberi kewenangan untuk menggali dan mengelola sumber keuangan yang memadai. Derajat otonomi daerah  seharusnya tidak ditentukan oleh besarnya pendapatan asli daerah (PAD) melainkan oleh kewenangan dan kemampuan mengelola dana yang diterima dari pemerintah pusat atau sumber lain.
Ketiga, adanya dialektika antar  budaya lokal. Setiap budaya lokal mendapat kesempatan dan sarana yang sama untuk menampilkan diri.
Keempat, otonomi politik diberikan kepada daerah bukan karena alasan efesiensi pemerintahan semata-mata, melainkan demi pelaksanaan demokrasi (asas kerakyatan) di daerah, sehingga harus dipertanggungjawabkan kepada pemiliknya, yakni wakil rakyat yang dipilh rakyat melalui pemilu yang bebas dan adil.
Kelima, asas pemerintahan sentralisasi dan dekosentrasi dilaksanakan bukan menguasai daerah melainkan untuk memberdayakan daerah. Khususnya yang kurang memiliki sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia. Kewenangan administratif  yang dimiliki daerah dari waktu ke waktu sesuai kemampuannya perlu pula diperbesar. Untuk itu, pusat terlebih dulu dengan jelas dan terinci harus menentukan apa sajapekerjaan pemerintahan yang dipegangnya  dan apa yang dapat dilimpahkannya ke daerah. Wujud dari kewenangan administratif ini tidak hanya berupa pelimpahan pekerjaan pemeintahdari pusat kepada daerah, tetapi juga pendelegasian di idang kelembagaan, keepegawaian, organisasi, dan manajemen pemerintahan.
Dengan demikian daerah dapat mempunyai organisasi, mengelola pegawai, dan keuangan secara mandiri, sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakatnya. Ini berarti segala bentuk penyeraagaman dan pengelolaan serba terpusat yang tidak aspiratif tidak akomodatif dan inefisien, tidak diperlukan lagi. Lewat mekanisme serupa ini upaya mendewasakan otonomi darah akan cepat terwujud, dan roda pembangunan daerah akan berputar dangan lancar.   
5. OTONOMI POLITIK
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 pada 1 januari 2001 lalu, berimplikasi pada berubahnya sistem pemerintahan indonesia yang sebelumnya sentralistik, artinya memberikan otonomi politik dan mengakui pluralisme pemerintahan daerah. (Sadu Wasistiono, 2002 : 17). Bertolak dari pemikiran tersebut, maka setidaknya ada sembilan parameter yang harus dicakup dalam Undang-Undang tesebut antara lain :
Pertama, perlunya politik seluas-luasnya yang merupakan haak warga masyarakat lokal. Jangan seperti yang dilakukan rezim Orde Baru yang lebih menerapkan otonomi administrasi daripada otonomi politik. Otonomi politik yang dimaksudkan disini ialah kewenangan membuat dan melaksanakan kebijaksanaan publik sesuai karakteristik budaya, geografi, dan kemampuan lokal. Otonomi seluas-luasnya harus dirumuskan dalam bentuk otonomi formal, yakni hanya menyebut beberapa yang tidak diserahkan kepada daerah (karena menjadi kewenangan pusat). Sedangkan selebihnya menjadi kewenangan daerah.
Kedua, menjamin pluralisme jenis daerah otonom, yaitu propensi, kabupaten, kota, khususnya/istimewa, daerah otorita, dan otonom/asli desa sesuai keunikan dan karakteristiknya. Artinya, kewenangan yang diberikan propinsi seyogyanya yang seluruh wilayah propinsi, seperti pekerjaan umum dan pehubungan. Kewengan otonomi propinsi hanya meliputi beberapa hal yang memang lebih baik dan lebih efisien ditangani propinsi, sebaliknya propinsi melaksanakan peran sebagai wakil pemerintah pusat. Demikian juga kewenangan dan urusan yang ditangani kabupaten tidak harus sama dengan yang ditangani kota. Kemudian kewenangan dan urusan apa yang ditangani suatu daerah otonom atau juga yang diserahkan kepada daerah otonomi ditentukan oleh DPRD dan kepala daerah berdasarkan karakteristik budaya lokal, geografi, dan kemampuan ekonomi dan manusia daerah tersebut. Sedangkan desa, yang memiliki otonomi asli hendaknya dikembalikan sebagai masyarakat hukum adat. Desa sebagai perangkat administrasi pemerintahan terendah harus dihaouskan. Bagaimana masyarakat desa mengatur dirinya terserah kepada masyarakat desa sendiri, dan tidak boleh diserahkan oleh siapapun.
Ketiga, menghormati budaya lokal seperti nilai, norma, dan tradisi tentang tujuan dan cara hidup masyarakat.
Keempat, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis. Ini dimaksudkan untuk menjamin agar pemerintahan di daerah diselenggarakan oleh orang-orang yang mempercayai warga masyarakat setempat.
Kelima,  tugas dan wewenang yang diserahkan kepada derah harus disertai kewenangan mencari dan mengelola sumber keuangan sendiri, baik berupa jenis pajak dan restribusi daerah yang menghasilkan penerimaan yang memadai maupun bagian atau persentase yang adil dari hasil pengelolaan kekayaan alam daerah yang bersangkutan.
Keenam, pembentukan daerah otonom dan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan efisiensi, tetapi juga efektivitas.
Ketujuh, hubungan pusat dengan daerah harus dalam rangka pemberdayaan warga masyarakat daerah dan daerah otonom tersebut, khususnya daerah yang kurang memiliki sumberdaya materiil atau manusia.
Kedelapan, pemerintah daerah wajib merekrut dan membina pegawai daerah.
Kesembilan, Undang-Undang yang mengatur pemerintah daerah harus bersifat tuntas dan operasional, sehingga peraturan pemerintah hanya mengatur yang lebih teknis dan tidak memerlukan berbagai bentuk peraturan pelaksanaan lainnya.

D. PENUTUP
Undang-Undang Otonomi Daerah bersumber pada pasal 18 UUD 1945 yang implementasinya bisa berupa otonomi formil, materiil ataupun riil dan berkembang menjadi otonomi yang bertanggung jawab, nyata dan dinamis. Ini semua tergantung pada kejelian para pengelola negara, tehnologi, potensi alam, budaya dan sebagainya.
Undang-Undang otonomi Daerah dari mulai zaman kemerdekan sampai dengan reformasi masih bersifat experimental sehingga kegoncangan sosial yang mengancam ikatan kebangsaan, karena benturan antara keperluan demokrasi, dapat berupa konfigurasi politik/politik otonomi ikut mempengaruhi hubungan pusat dan daerah. Oleh karena itu perlu ada moment yang tepat dalam kelangsungan keutuhannya.
Untuk visi kedepan memang diperlukan putra-putra daerah yang dapat menangani otonomi daerah. Sebab krisis kepemimpinan yang sampai kini terjadi memang perlu leader benar-benar teruji capable dan accaptable-nya, sehingga tidak akan terjadi SARA dan sebagainya. Putra-Putra daearah karana tidak pernah mendapat kesempatan, padahal masyarakat menghendaki lantas lari ke pusat untuk memperebutkan posisi penting yang lebih menguntungkan daripada di daerahnya.
-----
DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Beberapa Masaalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,      Bandung, 1997.

Clifford Geentz, The Integrative Revolution Primandial Sentiments and Civil Polities in the New States, dalam Moh. Mahfud MD, Optimalisasi Peran Kepala Daerah dan DPRD Dalam Pelaksanaan otonomi Daerah Makalah Seminar Regionol, Yogyakarta, 6-10-1999

Moh. Mahfud MD., “ Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999.

-------, Politiknya Hukum di Indonesia. LP3ES, Jakarta, 1998.

Sadu Wasistiono, Kapita Selekta, Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Fokus Media, Bandung, 2002.

M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Alumuni, Bandung, 1997


* Abd. Rachman A. Latif,SH.,MHum.  adalah Dosen PNS DPK Fak.Hukum Universitas Jenggala Sidoarjo