ARG VI-1 DESEMBER 2006 1 ABU ROCHMAD
Sabtu, 30 Desember 2006
Jumat, 30 Juni 2006
Vol. 5 No. 2, Juni 2006. Abd. Rachman A. Latif.
IMPLEMETASI
PASAL 18 UUD 1945 DALAM
KAITANNYA DENGAN HUBUNGAN
ANTARA PUSAT DAN DAERAH
Oleh:
ABD. RACHMAN A. LATIF*
ABSTRAK
Undang-Undang Otonomi Daerah bersumber pada pasal 18 UUD 1945 yang
implementasinya bisa berupa otonomi formil, materiil ataupun riil dan
berkembang menjadi otonomi yang bertanggung jawab, nyata dan dinamis. Ini semua
tergantung pada kejelian para pengelola negara, teknologi, potensi alam, budaya
dan sebagainya.
A. PENDAHULUAN
Pemahaman otonomi
daerah baik pada zaman orde lama, orde baru
dan zaman reformasi ini kesemuanya berdasarkan pada Undang-Undang Daerah 1945
dengan fase-fasennya. Dengan demikian semua memahaminya menjalankan UUD dalam
suatu negara yang berdasarkan atas hukum dan bersistem konstitusi / sistem
Kontitusional.
Maka sesuai dengan
semangat pasal 18 UUD 1945 seyogyanya pemahaman desentralisasi lebih diarahkan
pada otonomi. Otonomi mengandung pengertian kemandirian untuk mengatur dan
mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan yang diserahkan atau dibiarkan
sebagai urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah. Jadi esensi
otonomi adalah kemandirian yaitu kebebasan untuk berinisiatif dan bertanggung
jawab sendiri dalam mengatur dan mengurus pemerintahan yang menjadi urusan
rumah tangganya.
Otonomi/desentralisasi
bukan hanya bermakna efisiensi, melainkan juga sebagai sarana demokrasi
penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan Daerah (pemerintahan otonom)
diselenggarakan dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintah negara. Dasar permusyawaratan hanya dijalankan dalam corak
pemerintahan demokrasi. Sedangkan demokrasi memberikan tempat keikutsertaan
rakyat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintah, baik secara individual
maupun melalui kelompok organisasi masyarakat atau politik.
Ditinjau dari sudut
pandang ilmu hukum delegasi yang semata-mata berisi delegasi wewenang
(pemecahan wewenang ) dari satuan pemerintahan yang lebih tinggi kepada
bagian-bagiannya bukanlah desentralisasi melainkan sentralisasi. Setiap bentuk
otonomi selalu mengandung muatan desentralisasi. Tiada otonomi tanpa
desentralisasi. Bahkan dalam pandangan ilmu hukum isi desentralisasi tidak lain
dari otonomi. Tetapi otonomi tidak sekedar pemencaran wewenang ( Bagir Manan,
1997: 269 ).
Bangsa Indonesia
sebenarnya telah memiliki sejarah desentralisasi yang cukup panjang, yakni
mulai dari Decentralisastie wet 1903 (Stbld 1903 / 329 ) pada Zaman
Hindia Belanda sampai ke Undang-Undang Nomor Tahun 1999 sekarang ini. Tetapi
tarik menarik kewenangan antara pemerintaha pusat dengan pemerintaha daerah
masisaja terus terjsdi. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi merupakan
sesuatu yang bersifat dinamis, dan persoalan otonomi Daerah tidak akan pernah
selesai sepanjang kebutuhan dan keinginan masyarakat itu sendiri masih terus
berubah
Dengan hadirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah diharapkan dapat menjadi batu penjuru
bagi terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis. Sebab pada dasarnya pemberian
otonomi dalam rangka desentralisasi diarahkan untuk peningkatan penyelenggaraan
pemerintahaan dengan melibatkan seluruh komponen yang ada di Daerah.
Untuk menjalankan
penyelenggaraan pemerintahan dimaksud tentu diperlukan manajemen baru yang sesuai
dengan dinamika prersoalan yang dihadapi dalam otonomi Daerah. Khususnya bagi
Daerah yang langsung memegang kendali otonomi harus memiliki manajemen yang
sesuai dengan tuntunan Zaman. Sebab manajemen menjadi faktor yang sangat
penting bagi keberhasilan implementasi Otonomi Daerah di Indonesia.
B. PERMASALAHAN
Permasalahan dalam
tulisan ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana implementasi pasal 18 UUD
1945 dalam kaitannya dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah?
C. PEMBAHASAN
1. ASAS-ASAS OTONOMI DAERAH
Pendiri negara-negara
bersepakat untuk mendirikan negaara berdasar prinsip maka dengan sendirinya
prinsip otonomi daerah juga menyertainya. Hal ini menjadi salah satu tuntutan
peeenting bagi sebuah sistem demokrasi adalaah adanya pancaran kekuasaan baik
secara horizontal (ke samping) maupun secaara vertikal (atas bawah ).
Pemencaran kekuasaan secara horizontal ditandai oleh adanya pembentukan lembaga
tinggi-lembaga tinggi negara ytang sejajar seperti DPR, Presiden, BPK, MA dan MPR
yang diatur dengan mekanisme chek and baalance, sedangkan pemencaran vertikal
ditandai oleh adanya desentralisasi dan otonomi daerah. (Moh .Mahfud
MD,(1999:186).
Adanya desentralisasi
dan otonomi daerah diyakini oleh pendiri negara RI sebagai bagian dari pelaksanaan
demokrasi dapat dipahami dari pernyataan Hatta bahwa : Menurut dasar
kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya pada
pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa
dan di daerah ... Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau
golongan rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan–peraturan
sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan peraturan–peraturan yang dibuat oleh
dewan yang lebih tinggi). Keadaan yang seperti itu penting sekali karena
keperluan tiap-tiap tempa tdan dalam satu negeri tidak sama melainkan berlain-
lain (Moh.Mahfud MD., 1999 : 197).
Ada beberapa asas
otonomi antara lain :
a. Otonomi Formal
Dalam asas otonomi
formal pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab antara pusat dan dareh
untuk mengatur rumah tanggganya sendiri tidak dirinci dalam undang-undang.
Pandangan dipakai dalam asas ini adalah bahwa tidak ada perbedaan sifat antara
urusaan yang diselenggarakan oleh pusat dan daerah. Pembagian tugas, wewenang
dan tanggung jawab tersebut semata-mata berdasarkan atas keyakinan bahwa suatu
urusan pemerintahan akan berhasil baik, jika diurus dan diatur oleh satuan
pemerintah tertentu dan sebaliknya. Dengan demikian asas otonomi formil memberikan
keleluasaan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan sebagian urusan rumah tangganya sendiri. (Moh. Mahfud MD., 1998 :
96).
b.Otonomi Material
Berbalikan dengan asas
otonomi formal, asas otonomi material memuat secara rinci (dalam peraturan
perundang-undangan) permbagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.
Semuanya ditetapkan secara pasti dan jelas sehingga derah memiliki pedoman yang
jelas. Titik tolak pemikiran asas otonomi material adalah adanya perbedaan
mendasar antara urusan pemerintahan pusaat dan pemerintahandaaerah. Urusan-
urusan pemerintahan itu dapat dipilah-pilahkan dalam berbagai lingkungan satuan
pemerintahan (Moh. Mahmud MD., 1998: 97).
c. Otonomi Riil
Asas otonomi riil merupakan jalan tengah
antara asas otonomi formaal dan material. Dalam asas ini penyerahan urusan
kepada daerah otonom didasarkan pada faktor-faktor riil. Manakah yang lebih
dominan antara asas formal dan material dalam asas riil ini. Menurut Bagir
Manan terdapat kesan bahwa sebagai jalan tengah asas otonomi riil lebih
mengutamakan asas formalnya.
Hal ini arena asas
otonomi formal mengandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dan
kemandirian bagi daerah sementara asas otonomi material akan merangsang timbulnya
ketidak puasan daerah dan “ spaning hubungan antara pusat dan daerah”. Dalam
asas riil, asas material berperan
memberikan kepastian sejak awal mengenai urusan daerah. Melalui asas
material urusan pangkal diserahkan dan dikembangkan dengan asas formal yang
lebih memberikan kebebasan dan kemandirian. Aspek asas otonomi material dalam
bentuk penyerahan urusan pangkal menjadi salah satu ciri yang membedakan asas
otonomi laainya (Moh. Mahmud MD., 1998 : 99 ).
Demikian juga pendapat
dari Tagueville yang dikutip oleh Rienow mengkaitkan otnomi ini dengan
demokrasi yang antaralain mengatakan suatu pemerintahan merdrka yang tidak
membangun semangat kedaulatan rakyat karena didalamnya tidak ada semangat
kebebasan. Dikemukakanya bahwa salah satu karakter yaang menonjol dari negara
demokrasi adanya kebebasan sehingga adanya sinstitusi pemerintahan di tingkat
daerah memilih minimal dua makna :
Pertama. Supaya ada kebiasaan
bagi rakyat untuk memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan secara
langsung dengan mereka.
Kedua, terbuka kesempatan
untuk membuat peraturan dan programnya sendiri bagi setiap komunitas yang
memiliki tuntutan berbagai masalah. (Moh. Mahmud MD., 1998 : 186).
Sementara kaalau
melihat perundang- undangan kita menganut asas otonomi yang berubah-ubah.
Kadang kala menganut asas riil kadang kala menganut otonomi formil, demikian
juga otonomi material. Otonomi riil dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974, Tap MPRS XXI/66, TapMPR IV/78 dan Undang-Undang Nomor 22Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi material pada Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1965, sedang otonomi formil pada Undang-Un daang Nomor 1 Tahun 1957,
Penpres Nomor 6 Tahun 1959. Hal demikian kalau melihat pada pendapat akademik
sebagaimana tersebut di atas tidak menjadi persoalan karena antara otonomi riil
dan materiil sama-sama mengandung kelemahan, sedangkan otonomi riil merupakan
jalan tengah.
2. HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
Penyelenggaran Otonomi
Daerah dalam rangka desentralisasi merupakan suatu pekerjaan yang komplaks dan
berkesinambungan. Pada tahap awal desen tralisasi, dilakukan transfer berbagai
jenis kewenangan dari pemerintah pusat ke berbagai institusi, terutama
institusi pemerintah subnasional. Setelah transfer kewenangan akan diikuti
dengan transfer pembiayaan, dokumen-dokumen serta sarana dan prasarana. Setelah
tahap-tahap tersebut selesai, bukan berarti pekerjaan beres, justru muncul
serangkaian tantangan baru berkaitan dengan kemampuan dari institusi yang
memperoleh transfer kewenangan untuk mengelolanya secara baik dan benar.
Hubungan antara pusat dan daerah tanpa manajemen yang baik,
tujuandesentralisasi yakni untuk demokratisasi, efektivitas dan efisiensi serta
keadilan tidak akan tercapai, bahkan muncul sumber-sumber inifisiensi, inefektivitas,
serta ketidakadilan di sejumlah daerah yang dapat menjadi pemicu bagi
terjadinya krisis multi-dimensional baru. Dengan kata lain, untuk menjalankan
otonomi daerah diperlukan “manajemen baru” yaang sesuai dengan dinamika
persoalan yang dihadapi. Manajemen menjadi faktor yang sangat penting bagi
keberhasilan implementasiotonomi daerah di Indddinesia.
Apabila sampai saat ini
banyak Daeraf Otonomi tidak mengalami kaemajuan, bahkan menjadi sangat
tergantung pada pemerintah pusat, tentu ada penyebab utamanya (kausa prima).
Salah satu yang utama atau yang terutama adalah kemampuan manajerial dari
kesatuan masyarakat hukum tersebut, termasuk pemerintah daerahnya untuk
menggunakan hak dan menjalankan kewenangannya. Adanya ekses terhadap hubungan
antara pusat dan daerah dan pelaksanaannya, untuk itu perlu melihat pada
hubungan tersebut.
Pelaksanaan Asas-asas
Hubungan pemerintah Pusat dan Daerah tergambar sebagai berikut:
|
|
Sifat Pemberian Kewenangan
|
Perbedaan Kewenangan Pada Pemerintah
|
||
|
Pusat
|
Wilayah
|
Daerah
|
||
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
1. Desen-tralisasi
|
Penyerahan
|
1. Pengawasan
2. Pengendalian
3. Pertanggung jawaban Umum
|
1. Koordina-si
2. Penga-wasan
|
1. Kebijaksanaan
2. Perencanaan
3. Pelaksanaan
4. Pembiayaan (Kecuali Gaji)
|
|
3. Dekon-sentra-si
4.
|
Pelimpahan
|
1.
Kebijaksa-naan
2.
Perencana-an
|
Koordinasi
|
1.
Menunjang
2.
Melengkapi
3.
Pembiayaan
4.
Pengawasan
|
|
3.
Pem-bantuan
(Medebe-wind)
|
Pengikutsertaan
|
1. Kebijaksanaan
2. Perencanaan
3. Pelaksanaan
4. Pembiayaan
5. Pengawasan
|
|
|
Dengan demikan otonomi
formil, materiil dan riil bisa berkembang menjadi otonomi nyata, dinamis dan bertanggung
jawab, sedangkan tehnis hubungan antara pusat dan daerah berupa desentralisasi,
pelimpahan dan pengikutsertaan wewenang. Berkait dengan masih adanya demokrasi
/ tidaknya yang dapat mempengaruhi secara administratif.
Sedangkan tehnis
administratif lainnya berupa pengawasan, koodinasi terhadap program yang berupa
pembiayaan, perencanaan dan kebijaksanaan menuju dan otonomi formil,
sebagaimana tersebut di atas merupakan politik otonomi sehingga bagaimana peran
Kepala daerah, DPRD, BPH, Instansi-instansi terkait ini semua merupakan politik
otonomi yang terkait dan dipengaruhi dengan konfigurasi politik.
Tolak tarik antra
konfigurasi politik yang demokratis dan yang otoriter terjadi sepanjang sejarah
negara RI. Sehingga pola hubungan pusaat dan daerah juga memberi kesaan terjadi
proses eksperimental karena berubah sejalan dengan perubahan politiknya. Pada
awal kemerdekaan sampai Tahun 1959 konfigurasi politik kita tampil secara
demokratis sehingga hubungan pusat dan daerah diatur secara hukum dengan ketentuan
yang sangat desentralistik dan memberi otonomi yang luas sebagaimana terlihat
dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1746 dan Nomor 1 Tahun 1957.
Ketika konfigurasi
politik berubah menjadi sangat otoriter yang ditandai dengan Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959 dengan demokrasi terpimpinnya, maka ketentuan-ketentuan mengenai
pemerintah daerah juga menjadi sangat sentralistik dengan hampir-hanpir tidak
ada otonomi sebagaimana dapat dilihat pada penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 ( M. Solly Lubis, 1997: 195).
Ketika terjadi
perubahan dari Orde lama ke Orde baru, yang pada awal perjalanannya Orde baru
juga menggariskan sistim politik yang demokratis dengan penekanan pada
kehidupan politik konstitusional, maka MPRS mengeluarkan ketetapan Nomor XXI/66
yang menggariskan prinsip otonomi nyata yang seluas-luasnya. Namun penekanan
pada konfigurasi politikdemokratis ini hanya berlangsung sebentar dan sebagai
strategi awal sebelum pemerintah berhasil membuat format politikbaaru yaang
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 dan 15 Tahun 1969 (tentang pemilu dan
tentang Susduk MPR / DPR / DPRD).
Kontigurasi politik
Indonesia ternyata kembali menjadi otoriter sehingga prroduk hukum tentang
hubungan pusat dan daerah diletakan di dalam bingkai yang sentralistik dan
dekosentratif. Ini dapat dilihat pada pencabutan Tap MPRS Nomor : XXI / MPRS /
1966 untuk kemudian dibuat Tap IV / 73 tentang GBHN yang didalamnya terdapat
garis baaru tentaang ekonomi daerah menjadi otonomi nyata dan bertabggung jawab
yang kemudian dielaborasi lagi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 (Moh.
Mahfud MD., 1999:196).
Undang-Undang inipun
dimaksudkan untuk menjawab tantangan bagi kehidupan politik Orde Baru yang
dihadapkan bagaimana membangun legitimasi kekuasaan, membangun stabilitas yang
dapat menjamin kelancaran program pembangunan ekonomi yang berparadigma
pertumbuhan dan bagaimana membangun kekuasaan pemerintah pusat yang memponyai
kewenangan di daerah-daerah, sehingga setelah tahun 1973 praktis tidak ada produk-produk
legislatif baik pusat dan daerah yang muncul dan berakhir dengan lengsernya
Soeharto pada bulan Mei 1998.
Untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat pada pemerintah, barulah timbul dan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai
jawaban adanya disintegrasi bangsa. Sedangkan pemerintahan menginginkan adanya
kesatuan (integrasi) dan demokrasi berjalan seiring. Demokrasi menuntut
kebebasan bagi masyarakat integrasi lebih menghendaki pembatasan-pembatasan.
Sedangkan Clfford Geertz mengatakan bahwa di negara-negara baru seringkali
terjadi kegoncangan sosial yang mengancam ikatan kebangsaan karena berbenturan
antara demokrasi dan integrasi. (Moh. Mahmud MD., 1999:5).
Dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Nomor 25 Tahun 1999 masih bersifat experimental
sehingga apa yang dikatakan oleh Cliffond Geertz perlu dibuktikan dengan
kenyataan selanjutnya. Apa saja yang perlu diperhatikan dan apa-apa saja yang
perlu diwaspadai. Padahal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan 25 Tahun 1999
lebih maju dan lebih demokratis dibanding undang-undang sebelumnya, namun dalam
pelaksanaannyayaang perlu diantisipasi / diwaspadai adaalah sistem dan
organnya, serta interpretasi yang bersifat terbuka sehingga undang-undang bisa
ditafsirkan lagi oleh pemerintah secara sefihak dengan peraturan berdasarkan
atribusi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah oleh undang-undang (Moh.
Mahfud MD., 1999 : 12) ini konsep yang bersifat umum masih perlu bukti dalam
fakkta.
Fakta yang terjadi di
Sidoarjo di mana kasus Tomy Suharto (bulan november 1999) membagikan dividen
saham yang sulit dicarikan, karena sahamnya palsu sehingga Bank perlu
mengklarifikasi. Berhasilnya Tomy Suharto membuat saham palsu bekerjasama
dengan Lembaga Reksadana yang terkenal dan berhasil mengumpulkan identitas dari
penduduk setempat (Sidoarjo) sedangkan Tomy sendiri terbentur pada kepemilikan
saham yang dimiliki secara pribadi (Hapus Intermeda). Demikian kasus pajak
Gudang Garam Kediri yang berkisar 3 trilyun tiap tahunnya harus disetor ke
pusat (S.K. Surabaya Post, 28-11-1999).
Ini bukti yang
dikatakan oleh Moh. Mahmud, MD., bahkan pada level pelaksanaan operasional kota
kediri atau daerah lainnya (kalau ada) tinggal gigit jari. Padahal kalau uang
Rp. 3 trilyun tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur kota Kediri
maka akan jauh lebih maju. Ini semata-mata “open interpretasi” yang memberikan
peluang adanya KKN. Kami kira ini ada kaitannya juga dengan konfigurasi
politik. Kalau ini tidak diwaspadai/diantisipasi putra-putra daerah yang
potensial akan lari ke pusat/Jakarta untuk memperebutkan kue bangunan. Sehingga
gagasan. Marwah Daud Ibrahim wajar menjadi tuntutannya karena beliau menjadi
bagian IRAMA SUKA dan praktek-praktek KKN model baru akan menjadi marak (SK.
Republik, 25-10-2001).
3. IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH
Setelah Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dilaksanakan secara
efektif sejak 1 januari 2001, dapat ditengarai gejala-gejala umum baik yang
bersifat positif kearah kemajuan maupun yang bersifat negatif atau merupakan
kekurangan. Uraiannya yaitu sebagai berikut.
Dampak Positif
1.
Hak-hak dasar daerah otonom yang meliputi kebebasan
untuk memilih pemimpinnya sendiri, kebebasan memiliki, mengelola dan
memanfaatkan sumber keuangannya sendiri, kebebasan untuk membuat aturan hukum
sendiri, serta kebebasan untuk memiliki pegawainya sendiri secara substansi
telah diberikan kepada daerah otonom. Dengan Hak-hak dasar tersebut, daerah
otonom memiliki keleluasan yang sangat luas untuk menggunakannya. Kebebasan
tersebut dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya, kepentingan umum serta
asas kepatutan.
2.
Mulai berkembangnya inisiatif dan kreativitas
Daerah untuk membangun daerahnya berkompetisi dengan dearah-daerah otonom
lainnya. Dengan memiliki kebebasaan untuk menyusun rencana pembangunan sendiri,
daerah dapat mendayagunakan potensinya untuk kesejahteraan masyarakat. Pada
masa mendatang diharapkan akan muncul berbagai pusat pertumbuhan baru di
berbagai daerah yang potensial, sehingga mengurangi aktivitas yang bersifat
“Jakarta sentris”.
3.
Mulai tumbuhnya iklim demokrasi dengan lebih banyak
melibatkan masyarakat berpartisipasi pada tahap perumusan, implementasi
permanfaatan serta evaluasi kebijakan publik yang di buat oleh Pemerintah
Daerah-bukan hanya berpartisipasi pada tahapan pelaksanaan kebijakan seperti
yang selama ini terjadi.
4.
Mulai munculnya endependensi relatif dari Daerah
terhadap Pemerintah Pusat dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadaapi di
daerah. Masalah Daerah diselesaikan di Daerah, dengan cara dan oleh masyarakat
setempat. Dilihat dari ketahanan nasional, hal semacam itu bersifat
menguntungkan karena masalah setempat menjadi terisolasi tidak meluas menjadi
masalah nasional. (Sadu Wasistiono, 2002:12).
Dampak negatif
Setiap perubahan selain
menampilkan sisi positif juga sekaligus menampilkan sisi negatif. Dengan
memahami berbagai kekurangan akan dapat diambil langkah antisipasi untuk
mengawasinya-tanpa perlu mencari siapa yang bersalah. Dari pengamatan
implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 selama tiga tahun dapat
diinventarisasi gejala umum dampak negatif yaitu sebagai berikut.
1.
Mengutnya rasa kedaerahan seempit yang apabila
tidak dicermati dan diantisipasi secara tepat akan besifat kontra
produktif terhadap upaya membangun
wawasan kebangsaan. Rrasa kedaerahan yang sempit tersebut nampak dalam hal
pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Daerah, Kesempatan berusaha,
penyusunan rencana pembangunan, pemberian layanan umum pada masyarakat maupun
dalam hal pengisian jabatan birokrasi Daerah.
2.
Munculnya gejala ekonomi biaya tinggi sebagai
akibat Daerah hanya mengejar kepentingan jangka pendek dalam menghimpun
pendapatan Daerah membiayai otonomi Daerah. Selain itu juga ada gejala
pengabaian terhadap kelestarian lingkungan karena eksploitasi sumber daya alam
secara berlebihan tetapi kurang terencana dengan baik.
3.
Otonomi Daerah masih dipahami secara sempit
sehingga hanya Pemerinta Daerah saja yang sibuk, sedangkan masyarak luas belum
dilibatkan secara akktif. Padahal otonomi diberikan kepada kesatuan masyarakat
hukum, bukan hanya kepada Pemerintah Daerah saja. Hal ini dapat dilihat antara
lain dari alokasi penggunaan dana APBD yang lebih banyak untuk kepentingan
birokrasi dan DPRD dari pada kepentingan masyarakat luas.
4.
Ada gejala ketidak patuhan Daerah dan atau
penafsiran secara sepihak terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Padahal demokrasi memerlukan ketaatan hukum
yang tinggi. Demokrasi tanpa penegakan hanya akan menciptakan anarki. Pada sisi
lain, tanpa adanya kepastian hukum, investor akan enggan menanamkan modal di
Daerah. Hal tersebut pada giliranya justru akan membuat satu Daerah tertinggal
dibandingkan daerah lainnya.
5.
Ada kecenderungan beralihnya.kekuasan di Daerah
dari eksekutif (executive heavy) ke tangan legeslatif (legeslative
heavy) yang diikuti pula dengan pergeseran pusat-pusat korupsinya. Terlebih
lagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak mengatur mekanisme pengawasan
terhadap kinerja DPRD. Perkembangan demokrasi, yang mensyaratkan adanya “check
and balance power” (Sadu Wasistiono, 2002 :
Kehadiran Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan 25 Tahun 1999 memberikan isyarat bahwa otonomi daerah
tidak sekedar pendelegasian otoritas dan penambahan sejumlah urusan kepada
daerah. Tetapi lebih dari itu merupakan momentum yang sangat tepat untuk
mengembalikan hak otonomi masyarakat di daerah, berikut membangkitkan
partisipasi mereka dalam proses pembangunan secara wajar, adil dan demokratis.
Yang lebih penting adalah bagaimana menyeimbangkan aspek kedaulatan rakyat dan
kesiapan daerah. Sebab antara daerah yang satu dengan daerah yang lain
mempunyai karekteristik berbeda. Sementara substansi daerah otonom dan
pengelolaannya akan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia, sumberdaya
alam, teknologi, kemampuan teknis dan menegerial, tata nilai dan tradisi serta
kelembagaan yang mengakar dan berkembang dalam suatu daerah yang kondisinya
tidak seragam.
Di samping itu masih
banyak tantangan yang harus dihadapi dan dibenahi khususnya yang berkaitan
dengan SDM di daerah. Karena itu yang mendesak dan perlu disiapkan adalah
perlunya melakukan restrukturisasi, revitalisasi dan fungsi analisasi
pemerintah daerah. Mengendepankan kualitas/profesional sehingga masyarakat akan
tetap percaya pada pemerintah. Oleh karena itu aparatur pemerintah dalamera
reformasi ini harus bersikap :
Pertama
: Punya kemampuan untuk melihat peluang-peluang
yang ada bagi pertumbuhan ekonomi, keberanian mengambil resiko dalam
memanfaatkan peluang dan kemampuan menggeser alokasi sumber kegiatan yang
berproduktivitas tinggi.
Kedua : Punya keberanian mengambil
keputusan dan langkah-langkah yang perlu mengacu pada misi yang ingin dicapai,
dan tidak mengacu semata-mata pada peraturan yang berlaku.
Ketiga
: Kemampuan mengindentifikasikan subyek-subyek yang
mempunyai potensi memberikan berbagai masukan dan sumber bagi prises pembangunan daerah.
Keempat
: Kemampuan
memainkan peranan sebagai fasilator yakni meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk tumbu dan berkembang dengan kekuatan sendiri.
4. PARADIGMA BARU
Untuk memahami seluruh Undang-Undang secara
komprehensif, perlu dipahami filosofi dan suasana batin pada saat Undang-Undang
tersebut disusun. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disusun dalam era reformasi
yang menuntut adanya perubahan secara mendasar sistem nilai kehidupan
berbangsa, bernegara, serta berpemerintahan, termasuk sistem nilai otonomi
daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai hukum positif saat ini, yang
secara efektif dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2001, juga memiliki nuansa
berbeda dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya. Hal ini yang tidak kalah
pentingnya adalah meluruskan paradigma lama dengan paradigma baru dalam
mendifinisikan otonomi daerah.
Setiap paradigma baru itu meliputi :
Pertama, memberikan otonomi politik seluas-luasnya dan mengakui pluralisme
pemerintahan daerah. Daerah diberi keleluasaan mengambil keputusan-keputusan
politik. Sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Dalam hubungan ini pusat
selayaknya memperbesar kewenangan politik daerah otonomi. Rakyat daerah harus
diberi kebebasan untuk memilih kepada daerahnya secara langsung. Badan
perwakilan di daerah benar-benar diberi kewenangan untuk menjalankan fungsinya
sebagai kebijakan dan pengontrol jalanya pelaksanaan kebijakan serta didekatkan
dengan rakyat (melalui pemilu sistem distrik). Dengan demikian eksekutif tidak
lagi menjadi pihak yang mendominasi penyelenggaraan pemerintah daerah.
Konsekuensinya, kepada daerah harus benar-benar merupakan jabatan politis,
bukan perpanjangan birokratis (baik sipil maupun militer).
Dengan itu, akan dapat
dicegah orang-orang yang tidak acceptable dan capable terpilih menjadi kepala
daerah. Sistem seperti ini akan dapat memberi tempat bagi putra-putri terbaik
daerah memimpindan menunjukkan daerahnya.
Kedua, tugas dan kewenangan daerah
dalam menentukan keuangandaerah diberi kewenangan untuk menggali dan mengelola
sumber keuangan yang memadai. Derajat otonomi daerah seharusnya tidak ditentukan oleh besarnya
pendapatan asli daerah (PAD) melainkan oleh kewenangan dan kemampuan mengelola
dana yang diterima dari pemerintah pusat atau sumber lain.
Ketiga,
adanya dialektika antar budaya lokal. Setiap budaya lokal mendapat
kesempatan dan sarana yang sama untuk menampilkan diri.
Keempat,
otonomi politik diberikan kepada daerah bukan
karena alasan efesiensi pemerintahan semata-mata, melainkan demi pelaksanaan
demokrasi (asas kerakyatan) di daerah, sehingga harus dipertanggungjawabkan
kepada pemiliknya, yakni wakil rakyat yang dipilh rakyat melalui pemilu yang
bebas dan adil.
Kelima,
asas pemerintahan sentralisasi dan dekosentrasi
dilaksanakan bukan menguasai daerah melainkan untuk memberdayakan daerah.
Khususnya yang kurang memiliki sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia.
Kewenangan administratif yang dimiliki
daerah dari waktu ke waktu sesuai kemampuannya perlu pula diperbesar. Untuk
itu, pusat terlebih dulu dengan jelas dan terinci harus menentukan apa
sajapekerjaan pemerintahan yang dipegangnya
dan apa yang dapat dilimpahkannya ke daerah. Wujud dari kewenangan administratif
ini tidak hanya berupa pelimpahan pekerjaan pemeintahdari pusat kepada daerah,
tetapi juga pendelegasian di idang kelembagaan, keepegawaian, organisasi, dan
manajemen pemerintahan.
Dengan demikian daerah
dapat mempunyai organisasi, mengelola pegawai, dan keuangan secara mandiri,
sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakatnya. Ini berarti segala bentuk
penyeraagaman dan pengelolaan serba terpusat yang tidak aspiratif tidak
akomodatif dan inefisien, tidak diperlukan lagi. Lewat mekanisme serupa ini
upaya mendewasakan otonomi darah akan cepat terwujud, dan roda pembangunan
daerah akan berputar dangan lancar.
5. OTONOMI POLITIK
Dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 pada 1 januari 2001 lalu, berimplikasi pada
berubahnya sistem pemerintahan indonesia yang sebelumnya sentralistik, artinya
memberikan otonomi politik dan mengakui pluralisme pemerintahan daerah. (Sadu
Wasistiono, 2002 : 17). Bertolak dari pemikiran tersebut, maka setidaknya ada
sembilan parameter yang harus dicakup dalam Undang-Undang tesebut antara lain :
Pertama,
perlunya politik seluas-luasnya yang merupakan haak
warga masyarakat lokal. Jangan seperti yang dilakukan rezim Orde Baru yang
lebih menerapkan otonomi administrasi daripada otonomi politik. Otonomi politik
yang dimaksudkan disini ialah kewenangan membuat dan melaksanakan kebijaksanaan
publik sesuai karakteristik budaya, geografi, dan kemampuan lokal. Otonomi
seluas-luasnya harus dirumuskan dalam bentuk otonomi formal, yakni hanya
menyebut beberapa yang tidak diserahkan kepada daerah (karena menjadi
kewenangan pusat). Sedangkan selebihnya menjadi kewenangan daerah.
Kedua,
menjamin pluralisme jenis daerah otonom, yaitu
propensi, kabupaten, kota, khususnya/istimewa, daerah otorita, dan otonom/asli
desa sesuai keunikan dan karakteristiknya. Artinya, kewenangan yang diberikan
propinsi seyogyanya yang seluruh wilayah propinsi, seperti pekerjaan umum dan
pehubungan. Kewengan otonomi propinsi hanya meliputi beberapa hal yang memang
lebih baik dan lebih efisien ditangani propinsi, sebaliknya propinsi
melaksanakan peran sebagai wakil pemerintah pusat. Demikian juga kewenangan dan
urusan yang ditangani kabupaten tidak harus sama dengan yang ditangani kota.
Kemudian kewenangan dan urusan apa yang ditangani suatu daerah otonom atau juga
yang diserahkan kepada daerah otonomi ditentukan oleh DPRD dan kepala daerah
berdasarkan karakteristik budaya lokal, geografi, dan kemampuan ekonomi dan
manusia daerah tersebut. Sedangkan desa, yang memiliki otonomi asli hendaknya
dikembalikan sebagai masyarakat hukum adat. Desa sebagai perangkat administrasi
pemerintahan terendah harus dihaouskan. Bagaimana masyarakat desa mengatur
dirinya terserah kepada masyarakat desa sendiri, dan tidak boleh diserahkan oleh
siapapun.
Ketiga,
menghormati budaya lokal seperti nilai, norma, dan
tradisi tentang tujuan dan cara hidup masyarakat.
Keempat,
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
demokratis. Ini dimaksudkan untuk menjamin agar pemerintahan di daerah
diselenggarakan oleh orang-orang yang mempercayai warga masyarakat setempat.
Kelima, tugas dan wewenang yang
diserahkan kepada derah harus disertai kewenangan mencari dan mengelola sumber
keuangan sendiri, baik berupa jenis pajak dan restribusi daerah yang
menghasilkan penerimaan yang memadai maupun bagian atau persentase yang adil
dari hasil pengelolaan kekayaan alam daerah yang bersangkutan.
Keenam,
pembentukan daerah otonom dan penyelenggaraan
pemerintahan daerah tidak hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan efisiensi,
tetapi juga efektivitas.
Ketujuh,
hubungan pusat dengan daerah harus dalam rangka
pemberdayaan warga masyarakat daerah dan daerah otonom tersebut, khususnya
daerah yang kurang memiliki sumberdaya materiil atau manusia.
Kedelapan, pemerintah daerah wajib merekrut dan membina pegawai daerah.
Kesembilan,
Undang-Undang yang mengatur pemerintah daerah harus
bersifat tuntas dan operasional, sehingga peraturan pemerintah hanya mengatur
yang lebih teknis dan tidak memerlukan berbagai bentuk peraturan pelaksanaan
lainnya.
D. PENUTUP
Undang-Undang Otonomi
Daerah bersumber pada pasal 18 UUD 1945 yang implementasinya bisa berupa
otonomi formil, materiil ataupun riil dan berkembang menjadi otonomi yang
bertanggung jawab, nyata dan dinamis. Ini semua tergantung pada kejelian para
pengelola negara, tehnologi, potensi alam, budaya dan sebagainya.
Undang-Undang otonomi
Daerah dari mulai zaman kemerdekan sampai dengan reformasi masih bersifat
experimental sehingga kegoncangan sosial yang mengancam ikatan kebangsaan, karena
benturan antara keperluan demokrasi, dapat berupa konfigurasi politik/politik
otonomi ikut mempengaruhi hubungan pusat dan daerah. Oleh karena itu perlu ada
moment yang tepat dalam kelangsungan keutuhannya.
Untuk visi kedepan
memang diperlukan putra-putra daerah yang dapat menangani otonomi daerah. Sebab
krisis kepemimpinan yang sampai kini terjadi memang perlu leader benar-benar
teruji capable dan accaptable-nya, sehingga tidak akan terjadi
SARA dan sebagainya. Putra-Putra daearah karana tidak pernah mendapat
kesempatan, padahal masyarakat menghendaki lantas lari ke pusat untuk
memperebutkan posisi penting yang lebih menguntungkan daripada di daerahnya.
-----
DAFTAR
PUSTAKA
Bagir Manan, Beberapa Masaalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Alumni, Bandung, 1997.
Clifford Geentz, The Integrative Revolution Primandial Sentiments and
Civil Polities in the New States, dalam Moh. Mahfud MD, Optimalisasi
Peran Kepala Daerah dan DPRD Dalam Pelaksanaan otonomi Daerah Makalah
Seminar Regionol, Yogyakarta, 6-10-1999
Moh. Mahfud MD., “ Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama
Media, Yogyakarta, 1999.
-------, Politiknya Hukum di Indonesia. LP3ES, Jakarta, 1998.
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta, Penyelenggaraan Pemerintah Daerah,
Fokus Media, Bandung, 2002.
M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Alumuni, Bandung, 1997
Langganan:
Komentar (Atom)